Hubungan Sejarah Melayu dan Jawa yang Jarang Diketahui
![]() |
Melayu dan Jawa Bersama-Sama Mengalahkan Siam
Kerajaan Majapahit merupakan sebuah kerajaan Jawa-Hindu terbesar sepanjang sejarah, dan mengalami masa kejayaannya saat diperintah oleh Raja Hayam Wuruk bersama perdana menterinya yang masyhur, yaitu Patih Gajah Mada. Di masa jayanya itu, terdapat sebuah kerajaan Melayu-Buddha yang berdiri di Semenanjung Melayu yaitu Langkasuka. Kala itu, Langkasuka diserang oleh pasukan Siam Ayutthaya yang ingin menguasai seluruh Nusantara, sehingga berhasil ditaklukan. Perluasan wilayah Ayutthaya ini tentunya mengancam kedaulatan Majapahit. Dikisahkan bahwa saat pasukan Ayutthaya mengarungi Selat Karimata menuju ke Pulau Jawa untuk mereka takluki, mereka secara tidak sengaja bertembung dengan pasukan Majapahit yang sedang melakukan patroli. Gajah Mada lantas memerintahkan pasukannya untuk mengusir pasukan Ayutthaya. Dalam peperangan yang tidak direncanakan tersebut, pasukan Majapahit berhasil memukul mundur pasukan Ayutthaya dari dari Selat Karimata hingga ke Semenanjung Melayu dan membebaskan Langkasuka serta kerajaan-kerajaan lainnya dari jajahan Siam Ayutthaya.
Setelah bebas dari Ayutthaya, Langkasuka kemudian berubah menjadi Kerajaan Chermin yang berpusat di wilayah Kelantan saat ini. Tak lama kemudian pada tahun 1357, pemimpin Chermin yaitu Raja Bharubasa menyatakan untuk bergabung kekuatan dengan Majapahit. Chermin kemudian mendapat gelar sebagai Kelantan-Majapahit II oleh Gajah Mada di bawah naungan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Jawa Timur. Dari penyatuan kekuatan Melayu-Jawa ini, mereka berhasil mengusir pasukan Siam dan bahkan berbalik menyerang mereka sehingga berhasil mengepung kota pusat pemerintahan Ayutthaya. Kota tersebut untuk seketika waktu berhasil diduduki oleh bangsa Melayu-Jawa. Sejak kemenangan itu, masyarakat Melayu dan Jawa memiliki hubungan yang sangat harmonis.
Legenda Keris Taming Sari dalam Hikayat Hang Tuah
Sebagai sebuah senjata yang bahkan dipercaya memiliki kekuatan ghaib oleh beberapa pihak, terdapat beberapa jenis keris yang melegenda di tanah Nusantara. Salah satunya adalah Keris Taming Sari yang melegenda di Malaysia. Dalam Hikayat Hang Tuah, dikisahkan bahwa pada suatu ketika, Hang Tuah bersama kerabat kerajaan Melaka mengunjungi Majapahit dalam rangka menjalin hubungan diplomatis serta persaudaraan yang baik. Setibanya di Jawa, mereka dihadang oleh sebuah pendekar yang ternama di tanah Jawa yaitu Taming Sari. Atas izin Sultan Melaka, Hang Tuah kemudian bertarung melawan Taming Sari. Dalam pertarungan yang sengit itu, Hang Tuah yang akhirnya berhasil menewaskan Taming Sari. Dari kemenangannya itu, sang Raja Majapahit menghadiahkan keris milik Taming Sari kepada Hang Tuah. Semenjak itu, keris Taming Sari menjadi keris pegangan Hang Tuah kemanapun beliau pergi.
Saat Melaka runtuh akibat pecah belah masyarakat Melayu saat itu yang juga diperparah oleh serangan Portugis pada tahun 1511, sultan terakhir Melaka yaitu Sultan Mahmud Shah telah berundur ke Kampar di Sumatera dan dipercayai membawa keris Taming Sari ke sana. Keris tersebut kemudian diserahkan kepada putranya yaitu Sultan Muzaffar Shah saat baginda diangkat menjadi Sultan Perak yang pertama pada tahun 1528. Sejak saat itu, Keris Taming Sari hingga saat ini tetap eksis sebagai keris kesultanan Perak, mengingat bahwa negeri Perak merupakan warisan dari Kesultanan Melaka.
Kelantan dan Wali Songo
| Masjid Kampung Laut yang menjadi cagar budaya di Kelantan, Malaysia. Foto: facebook.com/MasjidKampungLaut |
Selain Champa, Kelantan di Malaysia juga memiliki hubungan sejarah dengan Wali Songo, para penyebar Islam di Jawa. Syeikh Jumadil Qubro, pionir kepada Wali Songo tercatat pernah menetap di kerajaan Chermin (Kelantan) dan menikahi putri keluarga Diraja Chermin. Keturunan beliau adalah Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri. Sosok beliau inilah yang bertanggungjawab mengislamkan pemimpin Chermin kala itu. Ada juga yang mengatakan bahwa Syekh Jumadil Qubro menetap di Champa yang juga pernah berada di bawah kuasa Chermin.
Di Kelantan, terdapat sebuah masjid yang bernama Masjid Kampung Laut yang dikatakan dibangun oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang saat transit di Chermin dalam perjalanan dari Jawa ke Champa. Masjid ini juga memiliki desain yang sangat mirip dengan Masjid Agung Demak di Jawa. Namun, ada yang mengatakan bahwa Masjid Kampung Lautlah yang dibangun terlebih dahulu sebelum para Wali Songo diperintahkan untuk datang ke Jawa dan berdakwah. Satu hal yang pasti adalah, masjid yang berarsitektur khas Melayu dengan sentuhan Jawa tersebut menjadi salah satu masjid tertua di Malaysia yang masih berdiri kokoh.
Melaka Berbuat Baik, Jawa Membalas Kebaikannya
Sejarah Islam di Jawa ternyata tidak selalu menempatkan Wali Songo sebagai titik permulaan Islamisasi. Bagi daerah Cirebon, Islam pertama kali hadir bukan dibawa oleh Sunan Gunung Jati, melainkan Syekh Datuk Kahfi alias Syekh Nurjati. Beliau adalah ulama keturunan Rasulullah dan lahir di Semenanjung Melayu pada pertengahan abad ke-14. Waktu hidupnya saat beranjak ke usia dewasa didedikasikan untuk belajar dan mengajar di Mekkah, kemudian Baghdad. Sampailah pada suatu ketika, beliau diutuskan oleh raja Baghdad untuk berdakwah ke Tanah Jawa. Kedatangan rombongan Syekh Nurjati diterima dan diizinkan untuk bermukim oleh penguasa lokal yaitu Ki Gedeng Tapa sekitar tahun 1420. Di Cirebon, beliau mendirikan sebuah pondok pesantren di Gunung Jati. Salah satu murid beliau adalah Pangeran Walangsungsang, seorang kepala desa di Cirebon sekaligus paman kepada Sunan Gunung Jati. Pangeran Walasungsang menasihatkan Sunan Gunung Jati untuk bertemu dengan Syekh Nurjati terlebih dahulu sebelum memulai dakwahnya sekitar 1470-1745. Artinya, Sunan Gunung Jati bukan orang pertama yang berdakwah di Cirebon, melainkan ulama asal Semenanjung Melayu.
Kedatangan Syekh Nurjati ke Cirebon adalah sezaman dengan masa-masa Kesultanan Melaka membentuk masa keemasannya sebagai pusat kegiatan ilmu Islam. Muzium Kesultanan Melaka di Malaysia menyebutkan bahwa Melaka pernah menjadi tempat Sunan Bonang dan Sunan Giri mengenyam pendidikan, selain di Samudera Pasai dan Mekkah. Posisi Melaka sebagai pusat kegiatan Islam tentunya menjadikannya spot yang vital bagi Nusantara. Itulah mengapa saat Portugis datang dan menghancurkan Melaka, banyak negeri-negeri Islam termasuklah di Jawa beraksi untuk mengusir Portugis. Di Jawa, Demak membentuk aliansi dengan Cirebon dan Banten dalam rangka berjihad mengusir penjajahan dari Melaka khususnya dan Nusantara umumnya. Pasukan Demak dipimpin oleh Pati Unus, yang merupakan menantu Raden Patah (Fattah) sekaligus sultan Demak kedua. Namun sayangnya perperangan berkali-kali tersebut dimenangi oleh Portugis, bahkan Pati Unus turut syahid dalam medan pertempuran. Kemangkatan beliau berujung pada runtuhnya Kesultanan Demak akibat perseteruan antar kerabat istana.
Negeri Jawa lainnya yang turut berjihad dengan konsisten adalah Jepara, yang dipimpin oleh Ratu Kalinyamat (1549-1579). Baginda sekurang-kurangnya telah mengirimkan pasukannya sebanyak dua kali untuk mengusir Portugis dari Melaka, yaitu pada tahun 1550 atas permintaan Sultan Johor, dan pada 1573. Meski pada akhirnya negeri-negeri Jawa gagal menyelamatkan Melaka, usaha jihad mereka telah membantu menyusahkan perluasan pengaruh Portugis di Nusantara.
Akulturasi Melayu-Jawa dalam Kesultanan Palembang
Pelestarian Budaya Jawa di Malaysia
Orang Jawa sudah hadir di Semenanjung Tanah Melayu sejak zaman Kesultanan Melaka, yang menjadi salah satu pusat perdagangan di Nusantara. Masa terus berlalu, sehingga orang- rang Jawa banyak yang merantau tak hanya berdagang, tetapi juga untuk mencari kerja. Semenanjung Melayu menjadi destinasi utama perantau Jawa, sehingga Inggris akhirnya melarang masuknya imigran Jawa ke Malaya. Posisi mereka pun tergantikan oleh buruh India & Cina. Sejak itulah hubungan bangsa Jawa dengan Melayu semenanjung akhirnya terputus setelah beratus tahun bekerja sama.
Meski berada jauh dari tanah leluhurnya, orang-orang Jawa di manapun mereka berada tetap memegang teguh prinsip wong Jowo ojo ilang Jowone, yang berarti orang Jawa jangan hilang (budaya dan jati diri) Jawanya. Penerapan prinsip itu telah membantu kebudayaan Jawa di Malaysia tidak lenyap dan tergeser oleh kebudayaan Melayu yang mendominasi. Orang-orang Jawa di Malaysia ini berasal dari Jawa Timur, maka kebudayaan yang dilestarikan adalah budaya Jawa Timuran seperti reog ponorogo yang dikenal sebagai tarian barongan. Pelestarian ini secara tidak langsung telah menyebabkan kebudayaan tersebut termasuk ke dalam daftar seni kebudayaan masyarakat Malaysia, sehingga memancing kesalahpahaman orang-orang Indonesia yang menganggap bahwa Malaysia mencuri budaya Indonesia tanpa memahami sejarah dan latar belakangnya. Syukur Alhamdulillah, informasi di masa sekarang dapat lebih mudah tersampaikan kepada masyarakat antar negara, sehingga diharapkan dapat meluruskan kembali segala kesalahpahaman dan perselisihan di kalangan masyarakat kedua negara serumpun.
Sebenarnya masih banyak lagi kisah sejarah lainnya seperti wangsa Sailendra Sriwijaya dan wangsa Sanjaya Mataram Kuno yang bersaudara, nama-nama tempat di Jawa seperti Klathen di ambil dari nama tempat di semenanjung Melayu oleh Wali Songo. Namun kisah-kisah tersebut masih belum terjamin benar dan masih diperdebatkan.
Dari kisah sejarah ini, bisa kita lihat bahwa nenek moyang kita saling berhubungan, bekerja sama, dan saling menguntungkan. Maka dari itu, kita sebagai generasi penerus bangsa, terutama bangsa Jawa dan Melayu yakni dua bangsa besar di Nusantara, marilah kita contohi sikap nenek moyang kita yang saling berdamai, dan berhentilah menghina, saling merendahkan. Beda corak kebudayaan maupun negara bukan berarti kita harus musuhan. Hargailah satu sama lain. Manfaatkanlah kehidupan berteknologi ini saling berdamai dan saling kenal mengenal antara satu sama lain.
Matur nuwun dan Salam Nusantara Damai!
Daftar Pustaka
Na'aman, Muhammad Faiz. (2018, Agustus 2). Jawa dan Melayu dalam sejarah. Diakses pada 12 Desember 2022 melalui https://www.malaysiakini.com/news/436967
Nawiyanto & Eko Crys Endrayadi. 2016. Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budayanya. Jember: Jember University Press.
Yusof, Hasanuddin dan Tun Suzana Tun Othman. 2020. Rahsia Penaklukan Melaka 1511. Seremban: Alami.
Orang Jawa sudah hadir di Semenanjung Tanah Melayu sejak zaman Kesultanan Melaka, yang menjadi salah satu pusat perdagangan di Nusantara. Masa terus berlalu, sehingga orang- rang Jawa banyak yang merantau tak hanya berdagang, tetapi juga untuk mencari kerja. Semenanjung Melayu menjadi destinasi utama perantau Jawa, sehingga Inggris akhirnya melarang masuknya imigran Jawa ke Malaya. Posisi mereka pun tergantikan oleh buruh India & Cina. Sejak itulah hubungan bangsa Jawa dengan Melayu semenanjung akhirnya terputus setelah beratus tahun bekerja sama.
Meski berada jauh dari tanah leluhurnya, orang-orang Jawa di manapun mereka berada tetap memegang teguh prinsip wong Jowo ojo ilang Jowone, yang berarti orang Jawa jangan hilang (budaya dan jati diri) Jawanya. Penerapan prinsip itu telah membantu kebudayaan Jawa di Malaysia tidak lenyap dan tergeser oleh kebudayaan Melayu yang mendominasi. Orang-orang Jawa di Malaysia ini berasal dari Jawa Timur, maka kebudayaan yang dilestarikan adalah budaya Jawa Timuran seperti reog ponorogo yang dikenal sebagai tarian barongan. Pelestarian ini secara tidak langsung telah menyebabkan kebudayaan tersebut termasuk ke dalam daftar seni kebudayaan masyarakat Malaysia, sehingga memancing kesalahpahaman orang-orang Indonesia yang menganggap bahwa Malaysia mencuri budaya Indonesia tanpa memahami sejarah dan latar belakangnya. Syukur Alhamdulillah, informasi di masa sekarang dapat lebih mudah tersampaikan kepada masyarakat antar negara, sehingga diharapkan dapat meluruskan kembali segala kesalahpahaman dan perselisihan di kalangan masyarakat kedua negara serumpun.
Sebenarnya masih banyak lagi kisah sejarah lainnya seperti wangsa Sailendra Sriwijaya dan wangsa Sanjaya Mataram Kuno yang bersaudara, nama-nama tempat di Jawa seperti Klathen di ambil dari nama tempat di semenanjung Melayu oleh Wali Songo. Namun kisah-kisah tersebut masih belum terjamin benar dan masih diperdebatkan.
Dari kisah sejarah ini, bisa kita lihat bahwa nenek moyang kita saling berhubungan, bekerja sama, dan saling menguntungkan. Maka dari itu, kita sebagai generasi penerus bangsa, terutama bangsa Jawa dan Melayu yakni dua bangsa besar di Nusantara, marilah kita contohi sikap nenek moyang kita yang saling berdamai, dan berhentilah menghina, saling merendahkan. Beda corak kebudayaan maupun negara bukan berarti kita harus musuhan. Hargailah satu sama lain. Manfaatkanlah kehidupan berteknologi ini saling berdamai dan saling kenal mengenal antara satu sama lain.Daftar Pustaka

.png)

Komentar
Posting Komentar