130 Tahun Pasang Surut Hubungan Aceh-Johor
Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,
Sejak kemerdekaan Indonesia dan Malaysia, kedua negara serumpun ini terlibat dalam hubungan yang pasang surut, terutama bagi rakyatnya. Ada kalanya kita berselisihan, tapi tak jarang juga kita saling berdamai.
Pola hubungan seperti ini sebenarnya sudah menjadi tradisi sejak masa lalu, contohnya melalui hubungan Aceh-Johor di abad pertengahan
Persaudaraan Diwarisi PerselisihanHubungan bangsa Semenanjung Melayu dengan Sumatra bagian utara sudah terjalin sejak zaman Kesultanan Melaka dan Samudera Pasai. Pengislaman Melaka oleh ulama Pasai telah membuka hubungan persaudaraan yang saling menguntungkan. Di satu sisi, Melaka berhasil berkembang menjadi pusat keislaman yang besar dan mempengaruhi keislaman di daerah Nusantara lainnya bersama Pasai. Di sisi lain, Samudera Pasai tetap dihormati sebagai pusat penerjemahan kitab-kitab Islam dari Timur Tengah. Di abad ke-16, kedatangan bangsa Portugis yang memusnahkan kedua negeri ini telah menyebabkan lahirnya penerus baru yang bernama Johor dan Aceh. Meski berubah identitas, Johor dan Aceh memiliki tujuan yang sama, yaitu mengusir Portugis. Kesamaan tujuan inilah yang menyambung kembali persaudaraan Johor-Aceh yang terputus seketika. Dalam konteks perselisihan Aceh-Johor pula, permata yang adalah Aru yang terbentang di pesisir timur provinsi Sumatra Utara modern. Aceh menyerbu Aru dengan pasukannya yang terdiri dari prajurit-prajurit asing pada tahun 1539 bagi melancarkan strategi blokadenya terhadap Portugis. Raja Aru meninggal dalam peperangan, sedangkan istrinya melarikan diri ke Melaka untuk meminta bantuan Portugis namun gagal. Sang istri kemudian pergi ke Johor untuk meminta bantuan kepada sultannya pula. Johor-Pahang-Riau-Lingga bersama beberapa negeri lain seperti Perak bersetuju untuk mengusir Aceh dari Aru, yang mengalami kesuksesan di tahun berikutnya yakni 1540. Mantan ratu Aru tersebut dikabarkan menikahi sultan Johor pula.
Peristiwa tersebut bukanlah momen pertama kali Aru menjalin hubungan dengan Johor. Sebagai salah satu bekas wilayah bawahan Kesultanan Melaka, pemimpin Aru tetap melanjutkan ikatan politiknya dan menyatakan kesetiaannya terhadap Semenanjung Melayu khususnya Johor-Riau, sehingga Johor merasa bertanggungjawab untuk menolong Aru alih-alih berteman dengan Aceh. Kekalahan Aceh di Aru akibat bantuan militer dari kerajaan yang seiman itu menimbulkan rasa dendam terhadap pemimpin Aceh, apalagi Portugis turut terlibat dalam membela Aru. Dari sudut pandang Portugis, gigihnya Johor dalam membantu Aru dimanfaatkan olehnya untuk dijadikan sekutu dalam membendung kuasa Aceh. Momen tersebut mempertemukan Aceh dan Johor sebagai dua kuasa yang berselisihan. Selang 24 tahun kemudian, Aceh menyerang Johor sebagai balasan. Peristiwa merebut Aru bukanlah momentum pertama kali Aceh bertemu dengan Johor. Pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin di Aceh (1530-1537), Laksamana Nadim dari Johor pernah mengunjungi istana Aceh untuk meminta bantuan militer dalam berperang dengan Portugis sekaligus meminang putri Aceh sebagai tanda persahabatan. Pinangan tersebut diterima oleh Sultan Salahuddin dan pernikahan berlangsung di Aceh dengan meriah. Di tengah-tengah pesta tersebut, para elit Aceh dan Johor dikatakan terlibat dalam sebuah diskusi yang serius. Setelah acara selesai, Aceh mengirim pasukannya untuk menjaga rombongan Laksamana Nadim bersama istri Acehnya untuk pulang ke Johor. Merangkul dan MenertibkanJika Portugis datang untuk membumihanguskan seluruh kekayaan dan kebudayaan Melayu-Islam di tumpuan jajahannya, maka Aceh bersikap sebaliknya. Di samping misinya untuk menguasai ekonomi pada laluan perdagangan dunia, tujuan Aceh menguasai kerajaan-kerajaan Melayu adalah untuk merangkul mereka bagi memerangi Portugis di bawah komando Aceh. Hubungan harmoni antara Aceh dan Johor bermula pada tahun 1574 ketika sultan Aceh berinisiatif untuk melakukan rekonsiliasi dengan pihak Johor yang kala itu diperintah Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (1571-1597) bagi memperbaiki hubungan dua negara serumpun dan seislam. Menurut satu sumber, ada perjanjian di mana Aceh bersetuju untuk mengakui keberadaan Aru sebagai vassal dari Johor. Melalui persahabatan barunya itu, Aceh mengajak Johor untuk bersama-sama memerangi Portugis di Melaka. Hubungan ini berlanjut saat Sultan Alauddin Mansur Syah dari Perak menduduki takhta Aceh. Baginda selalu mengirim pasukannya untuk mengawasi Johor agar tidak dipengaruhi Portugis, serta menikahkan putrinya dengan Sultan Ali Jalla Johor. Anthony Reid pernah menyebutkan seperti berikut:
Masa dua dekade dari tahun 1560 sampai dengan 1580 dicermati sebagai pedode kegemilangan kekuatan militer Islam di Asia Tenggara … Aceh sesungguhnya mendominasi Selat Melaka, dengan dukungan penuh dan Johor dan Jepara
Hubungan Aceh-Johor retak sejak naiknya Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil. Penulis berspekulasi bahwa kemerosotan tersebut disebabkan oleh konflik internal yang dialami Aceh. Sultan berdarah Perak tersebut dibunuh secara misterius mungkin karena asal-usulnya dari luar Sumatra, diikuti oleh penerusnya yaitu Sultan Buyung yang berasal dari Inderapura (sebuah kerajaan di Sumatra Barat). Kedua sultan diduga dibunuh oleh Sultan Saidil Mukammil sendiri, yang dapat mengambil alih takhta Aceh karena keahliannya dalam bidang militer. Situasi itu memicu kerajaan-kerajaan Melayu untuk lagi-lagi bekerjasama dengan Aru dan Portugis bagi membendung ekspansi Aceh di timur Sumatra, dan koalisi tersebut berhasil mengalahkan Aceh. Kondisi pemerintahan Aceh kembali stabil tatkala Sultan Iskandar Muda naik takhta. Dalam buku sejarah mungkin penaklukan terhadap Tanah Melayu adalah untuk menguasai pertambangan timahnya, akan tetapi sebenarnya alasannya lebih dari itu. Selain misinya untuk menyatukan kekuatan bangsa Melayu-Islam, keterikatan Johor dengan Aru dan Portugis turut menjadi motivasi baginda untuk menaklukkan tanah "permata" itu. Tanpa membuang waktu, sang Mahkota Alam langsung melakukan penyerangan terhadap kota-kota utama Johor sehingga berhasil menangkap dan membawa sultan dan para kerabat kesultanan ke Aceh. Sesampainya di tanah rencong, rombongan dari Hujung Tanah tersebut dijamu dengan baik bak tamu kehormatan. Pernikahan Aceh-Johor terjadi secara besar-besaran di Aceh, baik di kalangan masyarakat maupun lingkungan istana seperti pernikahan Sultan Iskandar Muda dengan Putri Kamaliah dari Pahang. Pengangkatan bendahara Johor sekaligus sastrawan yaitu Tun Sri Lanang sebagai penasihat langsung sultan Aceh juga merupakan usaha Aceh untuk mempereratkan kembali persahabatannya dengan Johor. Pada saat sultan Johor diperkenankan untuk pulang dan memimpin kerajaannya, Aceh memberi sejumlah uang untuk membangun kembali ibukotanya yang telah hancur dengan syarat agar Johor tidak berteman dengan Portugis. Bahkan, mayoritas orang Johor memilih untuk menetap di Aceh.
Sekembalinya ke Johor, ternyata pemimpin Johor berkhianat dan meneruskan hubungannya dengan Portugis dalam peperangan di Aru. Sultan Iskandar Muda lantas menyusun strategi untuk menertibkan seluruh Semenanjung Melayu dengan menyusuri sungai-sungainya. Dari Serdang dan Asahan di Sumatra Timur, kapal-kapal perang Aceh dikirim untuk mengawasi negeri-negeri yang tidak terlibat seperti Kedah dan Perak, sedangkan Johor dan Pahang mendapatkan hukumannya. Sekali lagi, kota-kota Johor dimusnahkan, namun setelah perang berakhir Sultan Aceh menjajah Johor dengan membangunkan kembali Johor beserta masjid-masjid baru sebagai sarana aktivitas keilmuan, dan panti-panti asuhan, serta memajukan sektor pertanian warga. Konon, Sultan Alauddin Riayat Syah III yang berkhianat dihukum bunuh, sedangkan takhtanya digantikan oleh putranya yang dinobatkan oleh Aceh yaitu Sultan Abdullah. Tidak berhenti di situ, upaya memperbaiki hubungan pemerintah dengan wilayah naungan pun dilakukan sekali lagi oleh Sultan Iskandar Muda, kali ini dengan menikahkan putrinya yaitu Putri Ratna Jauhari dengan Sultan Abdullah Johor. Hal ini menjadi tanda bahwa Aceh masih mengakui kedaulatan sultan Johor meski berada di bawah naungannya. VOC Hadir, Perang BerakhirKedatangan bangsa Belanda ke Nusantara dianggap sebagai pertanda buruk bagi Portugis, yang menjadi saingan mereka dalam hegemoni bangsa Eropa. Di sisi lain, melalui keahlian bangsa Melayu dalam berdiplomasi telah menyebabkan terjalinnya hubungan yang mesra antara pihak Johor dan VOC Belanda, yang datang ke Nusantara hampir seabad setelah kedatangan Portugis. Kehadiran VOC dalam pergaulan di lingkungan elit istana Johor telah membuka jalan bagi penjalinan hubungan diplomatis Johor-VOC Belanda. Terlebih lagi penolakan Sultan Iskandar Muda untuk bermitra dengan VOC menyebabkan mereka beralih dan memihak kepada Johor, sehingga sedia membantu Johor jika Aceh menyerang lagi. Di Aceh pula, VOC awalnya ditolak lantaran sikap Cornelis de Houtman yang sangat tidak sopan. Menyadari hubungan armada dagangnya yang memiliki hubungan buruk dengan Aceh-yang kala itu lebih besar dari Republik Belanda sendiri-, Pangeran Maurits sang pemimpin Belanda segera mengutus surat persahabatan dengan Aceh agar hubungan dapat dipulihkan. Penerus kejayaan Sultan Iskandar Muda yaitu Sultan Iskandar Thani, melakukan kebijakan diplomasi yang sama dengan Johor. Berbeda dari Iskandar sebelumnya, Iskandar kedua yang berdarah Pahang ini tidak berminat untuk melanjutkan politik ekspansi Aceh dan lebih mementingkan pembangunan dalam negeri terutama permasalahan agama. Aceh kali ini memiliki pandangan yang sama dengan Johor, yaitu memanfaatkan kehadiran Belanda untuk memerangi Portugis. Sebagai imbalannya, sultan Aceh mengizinkan VOC untuk ikut campur dalam urusan perdagangan timah di Perak. Berkat keterlibatan VOC, Portugis akhirnya berhasil ditewaskan di tahun yang sama Sultan Iskandar Thani wafat yakni pada 1641 melalui strategi "membunuh dengan pisau pinjaman" yang dilakukan Johor dan Aceh. Akhir dari Perang Segitiga turut menandakan akhir dari hubungan intens antara Aceh dan Johor sebelum dua kuasa tersebut disibukkan oleh urusan dalam negeri masing-masing. Aceh mengalami fase kemundurannya pasca mangkatnya Sultan Iskandar Thani serta kontroversi pengangkatan ratu sebagai pemimpin negara, sedangkan Johor mencapai masa kejayaannya bersama teman barunya sebelum bangsa 'blonde' itu pada akhirnya mengkhianati persahabatannya di abad berikutnya. Akhir Kata,Peristiwa sejarah yang objektif sudah tentu tidak selalu indah seperti yang diharapkan, pun begitu tidak selalu buruk seperti yang dibayangkan. Hubungan baik yang diwarnai oleh berbagai konflik ini sejalan dengan apa yang diartikan dari persaudaraan. Jika sahabat adalah seseorang yang tidak pernah bermusuhan, dan musuh adalah seseorang yang tidak pernah bersahabat, maka saudara adalah keduanya. Seberapa besar permusuhan kita pun, pasti akan berakhir damai karena hubungan kita sejatinya adalah bagaikan air dicincang, di mana persaudaraan kita tidak akan terputus sampai kapanpun. Yang baik kita simpan, yang buruk kita buang. Sekian, teurimong geunaseh. Daftar Pustaka Abbas, Moustapha. 2020. “Di Sebalik Kesultanan Acheh” dalam Kitab Tamadun Melayu, 385-393. Kuala Lumpur: Patriots Publishing. Andaya, Leonard Y. 2008. Selat Malaka: Sejarah Perdagangan dan Etnisitas. Terjemahan Aditya Pratama. Depok: Komunitas Bambu. Hadi, Amirul. 2006. Respons Islam Terhadap Hegemoni Barat: Aceh Vs Portugis (1500-1579). Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Shuhaimi, Farahana & Tuan Muda Selat. 2022. Tasjil Anis Salatin: Rahsia Agung Johor. Kuala Lumpur: Patriots Publishing. Wahyudi, Johan. 2019. Berebut Kuasa Malaka: Relasi Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI-XVII. Tangerang: Pustaka Compass. Yusof, Hasanuddin & Tun Suzana Tun Othman. 2020. Rahsia Penaklukan Melaka 1511. Seremban: Alami. |
Komentar
Posting Komentar