Bagaimana Melayunisasi Pesisir Sumatera Utara Berlaku?


Kenapa pesisir Sumatera Utara dihuni orang Melayu?
Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh dan ahoii!
Provinsi Sumatra Utara dengan ibu kotanya yang merupakan kota ketiga terbesar di Indonesia yakni Medan, menjadikan daerah ini sering mendapat perhatian dari berbagai bidang. Terlebih lagi, provinsi ini kaya akan beraneka ragam suku etnis yang sering kali disebut sebagai rumpun Batak (minus Nias), yang terdiri dari etnis Alas, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandailing. Akan tetapi, daratan Sumatra Utara tidak bisa selalu kita asosiasikan sebagai tanah Batak sepenuhnya, karena terdapat juga suku Melayu yang menjadi host population atau etnis asli bagi pesisir timur termasuklah kota Medan. Keberadaan budaya Melayu Deli, Langkat, dan Asahan menjadi sebuah topik yang menarik untuk dibahas mengenai asal-usulnya, terlebih lagi bagi penulis yang merupakan etnis Melayu Deli. Namun sayangnya, tidak banyak sejarahnya yang terekspos di media massa selain daripada Revolusi Sosial Sumatera Timur 1946.

Hubungan Aru dengan Melayu

Gambaran rumah-rumah lokal di Kerajaan Aru yang merupakan kerajaan Karo
Rumah tradisional Karo yang bernama Siwaluh Jabu tempo dulu. Foto: Tropenmuseum
Salah satu kerajaan tua terbesar yang pernah berdiri di daerah Sumatra Utara modern adalah kerajaan Aru yang berdaulat sejak abad ke-11. Menurut catatan Cina, Aru terletak “menghadap Pulau Sembilan” yakni di kabupaten Langkat modern dengan pusat pemerintahan keduanya di Deli Tua, yang berarti Aru merupakan kerajaan Karo. Sulalatus Salatin pula menyebutkan perihal penduduk dan pembesar Aru yang menggunakan marga-marga Karo. Kerajaan Aru pada mulanya merupakan salah satu pemain penting dalam atmosfer perdagangan Selat Melaka, namun pamornya menurun pada pertengahan paruh pertama abad ke-15, yang mana perhatian komersial beralih ke Samudra Pasai. Kemerosotan ekonomi Aru menyebabkannya mengubah budaya ekonomi yang sah menjadi ekonomi perompakan dengan sponsor dari penguasanya. Salah satu mangsa penjarahan Aru adalah Kesultanan Melaka yang terletak di seberangnya.

Sulalatus Salatin versi Krusenstern menyebut bahwa pada suatu ketika, Aru pernah melakukan pencerobohan di wilayah pesisir Selangor khususnya Tanjung Karang Tuan dan Jugra. Sultan Alauddin Ri'ayat Syah Melaka (1477-1488) merespons dengan menyerang kembali pasukan Aru di bawah pimpinan Laksamana Hang Tuah, Paduka Tuan Tun Tepok, dan Seri Bija Diraja. Peperangan yang terjadi sebanyak dua ronde itu pada akhirnya dimenangi oleh armada Melaka, sehingga memaksa raja Aru untuk menyerah sekaligus mengakui kedaulatan sultan Melaka terhadap Aru, menandakan bahwa Aru resmi menjadi vasal Melaka. Hubungan perdagangan Aru dengan Kota Melaka pun terjalin erat sepert yang dikisahkan dalam Suma Oriental.
Pasca keruntuhan Melaka, Aru tetap menjalin persaudaraan politik dengan Kesultanan Johor-Riau dan bernaung di bawah pengaruhnya, meski di masa yang sama hubungannya dengan Portugis Melaka dibuka atas alasan tersendiri. Persahabatan tersebut tampak jelas saat Aru tersebut diserang Aceh pada 1539, yang menyebabkan terkorbannya Raja Aru, sedangkan istrinya diri ke Portugis Melaka kemudian ke Johor untuk memohon bantuan. Pihak Portugis tidak memberi respon memuaskan, sedangkan sultan Johor bersetuju untuk mengonsolidasikan kekuatan bersama Perak, Pahang, Pattani, dan Siak untuk mengirim pasukannya bagi merebut kembali Aru dari Aceh setahun berikutnya. Memang, kalau kita pikirkan sebenarnya Johor bisa saja langsung bersekutu dengan Aceh untuk mengusir Portugis. Namun demi mempertahankan persatuan kerajaan Melayu pasca keruntuhan Melaka, maka Johor lebih memilih bermitra dengan Portugis demi menyelamatkan Aru yang diserang Aceh.

Perdagangan Pemicu Melayunisasi

benzoin yang menjadi salah satu primadona perdagangan di Selat Melaka
Benzoin merupakan salah satu sumber daya alam utama asli tanah Batak yang diekspor untuk perdagangan selat Melaka.

Bernaungnya Aru di bawah Melaka melebarkan pintu masuknya Islamisasi di wilayahnya, melalui pemberlakuan Hukum Kanun Melaka secara merata di seluruh wilayahnya. Sebelumnya, Aru telah menerima kedatangan dakwah Islam yang dibawa oleh rombongan pimpinan Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad dari Malabar, India menuju ke Samudera Pasai. Tinta emas sejarah menuliskan perihal kedatangan mereka yang tidak disengaja ini berhasil mengislamkan Raja Aru, bahkan lebih awal dari Islamisasi Parameswara sang pendiri Melaka. Bukti keislaman Raja Aru terdapat dalam sebuah catatan dari Dinasti Ming, yang menyebutkan kedatangan seorang utusan kiriman Su-lu-tang Hut-sin (Sultan Husin) dari Ya-lu (Aru). Tome Pires juga menyebutkan demikian perihal agama Raja Aru. Gelar sultan mengindikasikan bahwa Aru adalah kerajaan Islam, kendati masih banyak penduduknya menganut agama asli yakni parmalim serta menggiatkan aktivitas merompak. Sesudah tunduk pada kekuasaan Melaka, barulah jumlah Muslim Aru melonjak sekaligus mengakhiri aktivitas haram tersebut di selat Melaka.

Awal mula dari Melayunisasi orang-orang Karo-Batak tentunya tidak lepas dari besarnya peluang perdagangan di pesisir. Memandang bahwa orang Melayu berperan sebagai perantara perdagangan antara bangsa asing dan pribumi, maka atas pertimbangan ekonomis orang Batak pun berubah menjadi Melayu tatkala melawat ke pesisir, dengan cara menuturkan bahasa dan berbudaya Melayu. Namun untuk saat itu tentu mereka tidak ingin meninggalkan leluhur mereka, sehingga tetap mempertahankan dan mempertegaskan identitas Bataknya sepulangnya ke pedalaman dengan tetap menjalankan ritual Batak. Alhasil, terciptalah identitas ganda yang disebut sebagai Melayu Batak yang baginya menghadiahkan keberuntungan ekonomis dan ritual-budaya. Lambat laun, terjadi pernikahan antar suku antara orang-orang Batak Islam dengan Melayu asli dari Melaka, Johor, Riau serta etnis-etnis Muslim non Melayu seperti yang disebutkan oleh Tengku Lah Husni.

Lahirnya Langkat Darul Aman dan Asahan Indra Sakti

Kenapa pesisir Sumatera Utara dihuni orang Melayu?
Kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur pada tahun 1930 yang terdiri dari Langkat, Deli, Serdang, dan Asahan beserta pecahan-pecahannya (Batu Bara, Kualuh, Panai, Bilah, Kota Pinang).

Keislaman Raja Aru nyatanya tak membuat kerajaannya ini bersahabat dengan para tetangganya yang seiman. Penghinaan Raja Pasai terhadap duta kiriman Raja Aru menyebabka peperangan meletus di antara dua kerajaan Islam, dan berujung dengan kemenangan Pasai yang didukung oleh Melaka. Belum puas dengan kekalahannya, persahabatan Aru dengan Portugis pun diwujudkan guna menghancurkan Pasai pada tahun 1526 sebagai balas dendam. Persahabatan dengan Portugis ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Kesultanan Melaka, sehingga harus menemui ajalnya berupa kehancuran oleh serangan Aceh pimpinan Sultan Iskandar Muda bersama laksamanya yaitu Seri Paduka Gocah Pahlawan. Konon, seorang petinggi Aru bernama Dewa Syahdan menyelamatkan diri dan mendirikan Kerajaan Langkat pada tahun 1568. Nama Langkat diambil dari nama pohon langkat yang menyerupai pohon langsat. Pohon tersebut dikatakan telah punah di masa sekarang.

Pengakhiran riwayat Aru terjadi pada saat Sultan Iskandar Muda melakukan politik ekspansi terhadap kedaulatannya hingga ke Semenanjung Melayu. Dalam perjalanan ke Johor melalui pesisir timur Sumatera pada 1612, Sultan Iskandar Muda bersama rombongannya beristirahat di kawasan sebuah hulu sungai yang bernama Asahan (kini kabupaten Asahan), kemudian dilanjutkan ke sebuah tanjung yang merupakan pertemuan antara Sungai Asahan dengan Sungai Silau. Di sinilah sultan bertemu dengan penguasa setempat yaitu Raja Simargolang sekaligus mendirikan sebuah balai. Wilayah tersebut kemudian dinamakan sebagai “Tanjung Balai”. 8 tahun kemudian tepatnya pada 27 Desember 1620, dinobatkanlah sultan Asahan pertama yaitu Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Baginda merupakan putra hasil pernikahan antara Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar (1537-1568) dengan Siti Ungu, putri dari salah satu penguasa lokal yang terkorban dalam pertempuran merebut Aru dulunya.

Deli Darul Maimun dan Serdang Darul Arif

Di sekitar Deli Tua pula, Gocah Pahlawan mendirikan Kesultanan Deli. Hikayat Deli menuturkan bahwa Gocah Pahlawan atau nama aslinya yaitu Muhammad Dalik merupakan putra seorang raja India yang merantau ke Nusantara. Sejak awal kehadirannya, beliau telah menunjukkan sikap kepahlawanannya yang mirip dengan Hang Tuah, yakni berawal dari penumpasan para pengacau hingga memimpin ekspedisi peperangan. Identitasnya sebagai bangsa India nyatanya tidak menghalangi beliau untuk mengabdi kepada Aceh, sehingga mendapat gelar Seri Paduka Gocah Pahlawan. Sebuah masalah internal mengharuskan beliau pergi dari Aceh dan mendirikan pemerintahan baru di wilayah eks Kerajaan Aru. 

Gocah Pahlawan menikahi adik dari Raja Urung Sunggal, seorang penguasa daerah bersuku Karo yang memeluk Islam. Pernikahan yang menjalinkan hubungan dengan etnis Karo selaku pribumi asal membuahkan kesepakatan di kalangan Raja-Raja Urung Karo untuk mengangkat Gocah Pahlawan sebagai raja, dengan pengucapan taat setia oleh Raja Urung Sunggal. Aceh sebagai penguasa induk pula memberikannya kekuasaan berupa Wakil Sultan Aceh dengan misi menghancurkan sisa-sisa perlawanan Aru, mengembalikan misi Islam di wilayahnya, serta mengatur pemerintahan yang menjadi bahagian dari Imperium Aceh.  Seiring dengan kemunduran Aceh, penerus Gocah Pahlawan yaitu Tuanku Perunggit memproklamirkan kemerdekaannya pada 1669 dengan nama Al-Mu’tashim Deli Darul Maimun. 

Filosofi lambang Kesultanan Deli Darul Maimun

Mangkatnya Sultan Deli ketiga yaitu Tuanku Panglima Paderap pada tahun 1723 menyebabkan terjadinya sebuah pertentangan dalam pewarisan kekuasaan oleh putra-putranya. Karena putra sulung Deli memiliki cacat mata, maka menurut adat Melayu Deli putra ketigalah yang dapat menduduki takhta Deli, yakni Tuanku Umar. Keputusan ini membuat putra keduanya yaitu Tuanku Panglima Pasutan tidak senang dan merampas takhta Deli dari adiknya. Bagi menghindari perang saudara, maka Tuanku Umar yang tersingkir dari Deli karena masih di bawah umur dinobatkan menjadi Sultan Serdang melalui kesepakatan oleh dua Orang Besar Deli beretnis Batak yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, seorang Raja Urung dari Tanjung Morawa, dan seorang pembesar Kesultanan Aceh. Penabalan tersebut menandakan berdirinya pula negeri Al-Watsiqubillah Serdang Darul Arif.

Filosofi lambang Kesultanan Serdang Darul Arif

Awal abad ke-17 sejak di bawah pengaruh Aceh, terjadi beberapa gelombang perpindahan etnis-etnis Batak ke pesisir. Orang Karo bermigrasi ke Langkat, Deli, dan Serdang. Orang Simalungun bermigrasi ke Batu Bara dan Asahan, sedangkan orang Angkola-Mandailing bermigrasi ke Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Billah. Sebagiannya memeluk Islam dan mengintegrasikan diri mereka ke dalam kehidupan beradat dan berbahasa Melayu secara damai, sedangkan sebagian lainnya tetap mempertahankan kebatakannya. Proses Melayunisasi yang terjadi khusus di wilayah kesultanan-kesultanan berjalan lancar lantaran kewujudan ikatan Melayu yang berasaskan pada ikatan kultural, tak hanya ikatan darah. Raja-raja dan pembesar-pembesar Melayu pula menikahi putri-putri para penghulu Karo dan Simalungun, begitu juga putra-putranya yang dididik di lingkungan budaya Melayu-Islam. Demi mempertegas kemelayuannya, sejumlah orang-orang Batak mualaf bahkan meninggalkan marganya.

Demikianlah sejarah keberadaan Melayu di pesisir Sumatera Utara. Semua sultan-sultan Melayu Sumatera Timur kini kehilangan daulatnya akibat pecahnya Revolusi Sosial pada tahun 1946 oleh golongan Komunis. Meski revolusi tersebut sangat memburukkan citra Melayu Sumatera untuk beberapa waktu, usaha-usaha membangkitkan kembali eksistensinya telah berhasil mengembalikan budaya Melayu Sumatera Timur di negara Republik Indonesia. Bahkan, keturunan-keturunan sultan dicarikan kemudian dinobatkan kembali sebagai sultan, meski hanya sebagai simbol adat tanpa adanya sebarang kuasa politik. 

Artinya dalam konstitusi republik, sultan-sultan tersebut berstatus sebagai rakyat biasa. Walaipun begitu, keberadaan mereka tetap membuktikan bahwa Revolusi Sosial 1946 gagal melenyapkan Melayu Sumatera Timur secara total. Bahkan, terdapat dua bangunan peninggalan kesultanan Melayu yaitu Istana Maimoon beserta Masjid Raya al-Mashun yang dipelihara menjadi ikon utama kota Medan yang tidak pernah sepi pengunjung baik dari Indonesia maupun negara serumpun lainnya seperti Malaysia.

Istana Maimoon yang terletak di Medan merupakan peninggalan dari Kesultanan Deli. Pada bagian kiri terdapat bangunan Meriam Puntung yang berarsitektur khas Karo

Daftar Pustaka

Andaya, Leonard Y. 2008. Selat Malaka: Sejarah Perdagangan dan Etnisitas. Terjemahan Aditya Pratama. Depok: Komunitas Bambu.

Ibrahim, Syed Mahadzir. 2023. Membongkar Sejarah Tragedi Pembunuhan Sultan & Raja-Raja Melayu Nusantara. Petaling Jaya: Hijjaz Records Publishing.

Marpaung, Watni. 2011. Mutiara Kota Kerang Tanjungbalai Asahan. Medan: Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978. Sejarah Daerah Sumatera Utara. 

Shuhaimi, Farahana. 2018. Tasjil Anis Salatin: Rahsia Agung Melaka. Kuala Lumpur: Patriots Publishing.

Sumanti, Solihah Titin & Taslim Batubara. 2019. Dinamika Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Utara (Menelusuri Jejak Masjid Kesultanan Serdang). Yogyakarta: Atap Buku.

Takari, Muhammad, A. Zaidan B.S. & Fadlin Muhammad Dja'far. 2012. Sejarah Kesultanan Deli dan Peradaban Masyarakatnya. Medan: USU Press.

Wahyudi, Johan. 2019. Berebut Kuasa Malaka: Relasi Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI-XVII. Tangerang: Pustaka Compass.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Akulturasi Dayak, Melayu, dan Jawa Menjadi Urang Banjar

Persaudaraan Aceh dengan Perak dan Pahang dalam Sejarah

130 Tahun Pasang Surut Hubungan Aceh-Johor