Perjalanan Akulturasi Dayak, Melayu, dan Jawa Menjadi Urang Banjar


Suku Banjar lahir dari hasil akulturasi dari Dayak, Melayu, dan Jawa yang disatukan dalam entitas politik Kesultanan Banjar

Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Nusantara ini sejatinya terdiri dari ratusan suku bangsa dengan bahasa dan kebudayaannya masing-masing. Asal usulnya juga pasti beragam. Ada suku yang bisa mempertahankan kebudayaan aslinya dari zaman kuno hingga sekarang, dan ada juga suku yang terdiri dari asimilasi dan akulturasi beberapa buah suku lainnya. Salah satunya adalah bangsa Banjar dari wilayah selatan Kalimantan atau Borneo.

Jika dilihat dari bahasanya, banyak yang menyimpulkan bahwa orang Banjar ini berasal dari percampuran etnis-etnis Dayak, dengan pengaruh Jawa dan Melayu, yang disatukan dalam Kesultanan Banjar. Bagaimana proses akulturasi berlangsung? Mari kita simak artikel hasil rangkuman dari berbagai sumber literatur di bawah ini.

Nan Sarunai dan Tanjungpuri

Rumah tradisional Banjar, Rumah Bubungan Tinggi atau juga disebut sebagai Rumah Baanjung. Memiliki struktur dasar adat Dayak Ma’anyan
Rumah tradisional Banjar, Rumah Bubungan Tinggi atau juga disebut sebagai Rumah Baanjung. Memiliki struktur dasar adat Dayak Ma'anyan dengan pengaruh Melayu.Filosofi singkatnya bisa dilihat di sini.

Peradaban Dayak selatan Kalimantan diperkirakan telah bermula sejak abad ke-3 di Sungai Tabalong, bahkan lebih tua dari peradaban Kutai. Peradaban tersebut dinamakan sebagai peradaban Nan Sarunai, yang diyakini didirikan oleh orang-orang Dayak Ma'anyan.

Nama Nan Sarunai sendiri diperkirakan memiliki arti "sangat termasyhur", yang mengacu pada kemasyhuran dan kejayaan bangsa Ma'anyan termasuklah keahlian berlayar menuju pulau Madagaskar dan menurunkan penutur-penutur Austronesia di sana. Ada pendapat yang mengungkapkan bahwa nama Nan Sarunai diambil dari alat musik serunai yang acap digunakan oleh masyarakatnya dalam berpesta.

Selain Nan Sarunai, terdapat juga kerajaan Tanjungpuri yang bertetangga dengannya, yakni berbatasan dengan Sungai Barito. Kerajaan tersebut dipercayai didirikan oleh pelarian Melayu dari selatan Sumatra akibat keruntuhan Sriwijaya di abad ke-11. Mereka mendirikan pemukiman yang besar sehingga terbentuk pula negeri Tanjungpuri.

Karena mereka tidak berbaur dengan Melayu, mereka berundur ke daerah pegunungan Meratus terlebih lagi ketika negeri Tanjungpuri runtuh. Mereka itulah yang di kemudian hari disebut sebagai suku Bukit yang berbeda dari Dayak.

Saat kesultanan Islam Banjar berdiri, terdapat orang-orang Meratus yang memeluk Islam dan meninggalkan tradisi lama mereka. Terpecahnya orang Meratus menjadi golongan konservatif dan golongan mualaf ini dapat dicermati dalam sebuah legenda Meratus, dengan dua tokoh bersaudara yakni Si Ayuh (leluhur Bukit) dan Bambang Basiwara (leluhur Banjar)myang berujung menentukan nasib yang berbeda.

Meski terasing, orang-orang Kalimantan Selatan baik pribumi maupun pendatang saling berakulturasi antara satu sama lain sehingga membentuk tiga sub-bangsa Banjar yaitu:

  • Banjar Pahuluan: Suku Bukit di pegunungan Meratus yang memeluk Islam

  • Banjar Batang Banyu: Campuran Melayu dengan Dayak Ma'anyan

  • Banjar Kuala: Campuran Melayu dengan Dayak Ngaju

Peta pulau Kalimantan/Borneo pada era pra-Majapahit
Lokasi berdirinya Kerajaan Tanjungpuri dan negara-suku Nan Sarunai di selatan Kalimantan. Konon, ketika itu sungai Barito merupakan suatu teluk yang besar sebelum mengering menjadi daratan. Gambar: Lazardi Wong Jogja

Minimnya informasi sistem pemerintahan Nan Sarunai dan Tanjungpuri membuat jenis pemerintahan kedua wilayah tersebut sulit ditentukan, sehingga sering disebut sebagai "negara suku". Kendatipun menurut Suriansyah Ideham, masyarakat Ma'anyan sudah mengenal dan mengaplikasikan sistem kasta, yang lebih kompleks dari sistem kasta Hindu :

  • Damung : kaum bangsawan
  • Petinggi : para cendekiawan
  • Tamanggong (pangkalima) : golongan prajurit
  • Rangga : pedagang
  • Mangko : petani
  • Wira atau Abakpramas : rakyat biasa
  • Walah sanakai : pembantu, suruhan atau budak

Pada awalnya, hanya Banjar Kuala yang diidentifikasikan sebagai Urang Banjar dari kebudayaannya, namun lambat laun banjar Pahuluan dan Batang Banyu turut menjadi sebagian dari Banjar dalam perkembangannya.

Invasi Pengaruh Jawa-Hindu hingga Akulturasi Islam

Tiga wanita sedang menari Tari Baksa Kembang khas Banjar
Tari Baksa Kembang merupakan tarian tradisional bangsa Banjar yang telah wujud sejak era Negara Dipa. Tarian ini diiringi oleh musik Gamelan Banjar, yang juga berakar dari Jawa

Peradaban Nan Sarunai menemui pengakhirannya tatkala mereka diinvasi oleh Kerajaan Majapahit. Penyerangan dilakukan selama dua kali yaitu pada tahun 1309, 1339-1341, hingga keberhasilannya pada tahun 1350-1389. Hancurnya Nan Sarunai ini kemudian diabdikan dalam sebuah sastra lisan Dayak Ma'anyan yang berjudul "Nan Sarunai Usak Jawa", yang berarti Nan Sarunai telah dirusak oleh Jawa. Di bawah Majapahit, wilayah Nan Sarunai diubah menjadi kerajaan Kuripan, kemudian digabungkan dengan Tanjungpuri membentuk sebuah kerajaan vasal yang bernama Negara Dipa dengan raja pertamanya yaitu Ampu Jatmika, sang pemimpin pasukan penyerang Nan Sarunai.

Serangan Majapahit ke atas Nan Sarunai telah menyebabkan masuknya pengaruh Jawa-Hindu ke dalam kebudayaan masyarakat Kalimantan Selatan, terutamanya tatkala Pangeran Suryanata bersama Putri Junjung Buih menggantikan takhta Ampu Jatmika. Sesuai dengan asal-usul sang pangeran yakni dari Majapahit, maka sejak penobatannya itu baginda meresmikan agar seluruh masyarakatnya wajib menggunakan adat tradisi Jawa Majapahit di Negara Dipa, bagi menghindari kekacauan dan penyakit menurut kepercayaannya. Misalnya wayang kulit yang dipentaskan di Negara Dipa dan Daha kala itu masih persis sama dengan wayang kulit Jawa. Hanya setelah berdirinya Kesultanan Islam Banjar, barulah wayang kulit disesuaikan dengan selera dan kebudayaan Banjar lokal. Indolog Belanda, A.A. Cense menuliskan bahwa Negara Dipa dan Daha menyimpan pusaka-pusaka yang berasal dari Majapahit, yaitu mahkota kerajaan, gamelan, gong, canang, tombak, serta keris bernama si Masagiran dan Joko Piturun.

Wayang Kulit Banjar yang berakar dari Jawa
Setelah berdirinya Kesultanan Banjar atas bantuan Demak, Sultan Trenggana dari Demak menghadiahkan Sultan Suriansyah Banjar satu set wayang kulit dengan gamelan bagi mempermudah kegiatan dakwah. Hadiah baginda memicu lahirnya wayang kulit khas Banjar yang sesungguhnya

Konon, ekspansi Negara Dipa yang dilakukan oleh Empu Jatmika berlangsung damai sehingga sebagian besar orang-orang Dayak tidak keberatan untuk bergaul dengan para elit Jawa-Hindu, meski beberapa dari mereka berundur ke pedalaman. Salah satu bukti bahwa tradisi Dayak tidak lenyap di bawah supremasi Majapahit adalah adanya tradisi ba’ayun anak yang tidak punah, yaitu tradisi mengayun anak sambil dibacakan mantra-mantra kaharingan. Agama kaharingan merupakan agama asli masyarakat Dayak yang dianut sebelum era Islam dan Kristen. Mantra-mantra tersebut kemudian diubah menjadi pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an serta sholawat ke atas Nabi Muhammad di bawah pengaruh Banjar. Pengislaman tradisi yang dilakukan setiap 12 Rabiul Awal ini disebut sebagai penanda penting dalam islamnya masyarakat Banjar khususnya di daerah pedalaman Kalimantan Selatan. Tanggal pelaksanaannya juga menjadikan tradisi ini dikenal sebagai ba’ayun mulud (maulid).

Tradisi lain yang diwarisi turun temurun adalah tradisi berlayar mengarungi Samudra Hindia. Jika leluhur mereka berlayar ke Madagaskar pada era Nan Sarunai, maka pada masa Islam orang-orang Banjar dikatakan berlayar menuju ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji dan Umrah menggunakan kapal-kapal buatan mereka sendiri, setidaknya hingga abad ke-19. Kepiawaian mereka dalam berlayar melahirkan prinsip madam atau merantau ke berbagai penjuru Nusantara. Hingga masa modern ini, sejumlah besar orang Banjar di luar Kalimantan dapat ditemui di Indragiri Hilir di Riau, Kuala Tungkal di Jambi, hingga ke Johor, Selangor dan Perak di Malaysia. Sayangnya berbeda dari tradisi merantaunya Minangkabau, tradisi merantau Banjar ini mengalami penurunan serta tidak diminati oleh generasi muda Banjar.

Tradisi baayun mulud Banjar
Tradisi ba’ayun mulud

Islam Pembatas Etnis Banjar

Pengislaman melalui jalur pernikahan merupakan suatu praktek yang lazim terjadi di masa pra-kemerdekaan, bahkan masih kerap terjadi hingga sekarang. Biasanya, wanita pribumi yang menikah dengan saudagar Muslim akan ikut memeluk agama suaminya dan hidup bersamanya di lingkungan Islam. Demikianlah yang terjadi di tanah Banjar. Wanita-wanita Dayak yang menikah dengan Muslim Banjar akan diterima dan dianggap sebagai sebagian dari bangsa Banjar, setidaknya pada masa pra-kemerdekaan. Tradisi tersebut menyebabkan istilah “Islamisasi” sering juga disebut sebagai “Banjarisasi”.

Prinsip "agama raja adalah agama rakyat" yang berlaku di seluruh Nusantara era monarki adalah faktor utama suburnya Islam di tanah Banjar. Jika seseorang raja pindah agama, maka rakyatnya akan mengikutinya. Saat Pangeran Samudera sang raja Banjar pertama memeluk Islam sesuai janjinya terhadap sultan Demak yang telah menolongnya merebut kembali takhtanya, maka Islamlah para pengikut baginda. Sejak awal, para penguasa Banjar sangat memperhatikan perkembangan Islam di tanah kedaulatannya, seperti membiasakan rakyatnya meniru sikap-sikap keislaman baginda maupun mendukung dan mengangkat ulama sebagai penasihatnya.

Barangkali alasan dari sinonimi perkataan Islamisasi dengan Banjarisasi di Kalimantan Selatan mungkin berawal dari cara pengislaman Labai Lamiah, orang Ma'anyan pertama yang memeluk Islam, yang agak radikal. Sejumlah literatur menyebut bahwa konon, beliau berdakwah dengan memusnahkan berbagai tempat-tempat ritual Ma'anyan yang tersembunyi, sehingga timbul perlawanan terhadap Islamisasi yang dilakukan Labai Lamiah. Sikapnya ini tentu saja menguatkan persepsi bahwa orang yang memeluk Islam sama seperti keluar dari Dayak, meski tak jarang pula orang-orang Dayak mualaf yang tetap mewarisi kebangsaan leluhurnya. Misalnya Tumenggung Surapati, seorang panglima Muslim perang Banjar yang ikut berjuang bersama bangsa Banjar, tetap mempertahankan statusnya sebagai seorang kepala suku Dayak Bakumpai-Siang (sub-etnis Ngaju). Walau bagaimanapun, orang-orang Dayak dan Banjar tetap menjalin hubungan yang baik di kemudian waktu.

Alasan lainnya adalah karena unsur-unsur Islam yang begitu lekat dalam seluruh aspek kebudayaan Banjar. Misalnya, rangkaian upacara daur kehidupan. Pada subtopik sebelumnya telah disinggung mengenai tradisi ba’ayun mulud yang merupakan salah satu daripadanya. Acara lainnya yang juga diiringi dengan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an adalah mangarani anak atau batasmiah, yakni upacara pemberian nama pada bayi. Selain itu terdapat pula acara batamat qur’an, yaitu pembacaan bersama dari surah ad-Duha hingga an-Nas apabila seseorang anak telah berhasil khatam al-Qur’an. Acara batamatbiasanya dilakukan pada bulan Rabi’ul Awal.

Konstruksi Bahasa Banjar

Sultan Banjar yaitu Sultan Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah lengkap dengan busana dan perlengkapan kerajaan
Dalam pustaka bahasa Banjar terdapat kata tuah yang berarti mendatangkan kekeramatan, keselamatan dan kebahagian. Keyakinan tentang ketuahan mendukung kedaulatan raja atas rakyatnya. Meski sultan Banjar saat ini yaitu Sultan Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah hanya menjadi simbol adat tanpa kekuasaan, eksistensi baginda tetap menjadi bukti bahwa orang-orang Banjar sangat mendukung penghidupan kembali adat tradisi Kesultanan Banjar sejak 2010 yang telah mati akibat ulah Belanda. Foto: Kesultanan Banjar

Unsur penting dalam membentuk suatu entitas adalah bahasa. Berbicara soal bahasa, bahasa resmi yang digunakan dalam Kesultanan Banjar adalah bahasa Banjar. Meski dikategorikan sebagai sebagian dari rumpun Melayik lantaran pengaruh Melayu yang mendominasi, faktanya, asal-usul bahasa Banjar sendiri masih menjadi topik menarik untuk diteliti. Jika ditinjau dari kosa katanya, dapat diasumsikan bahwa bahasa Banjar adalah hasil interaksi bahasa Melayu, Jawa, dan Dayak. Hanya saja, terdapat segelintir kosa kata yang tidak dapat ditemui baik dalam bahasa Melayu, Jawa, maupun Dayak, seperti yang tertulis dalam Hikayat Banjar. J.J.Ras mengutarakan bahwa berbeda dari karya kesusastraan Melayu tua lainnya seperti Hikayat Merong Mahawangsa dari Kedah, Malaysia, gaya penulisan Hikayat Banjar tidak tunduk alias “menyimpang” kebakuan bahasa Melayu Johor-Riau.

Bentuk-bentuk inilah yang barangkali dikatakan sebagai unsur asli Banjar oleh A.A. Cence. Atas dasar ini, Rustam Effendi menyimpulkan bahwa bahasa Banjar bukanlah bahasa yang diturunkan dari bahasa Jawa, Melayu, maupun Dayak, melainkan bahasa asli yang secara genetis diturunkan langsung dari etimon bahasa Proto Austronesia. Kasus ini mirip dengan bahasa Dayak Iban di Sarawak dan Kalimantan Barat yang tergolong ke dalam rumpun Melayik namun bukan berasal dari pengaruh Melayu. Bahasa yang disebut sebagai bahasa Banjar Purba ini diasumsikan sebagai warisan dari Tanjungpuri. Oleh karena itu, bahasa Banjar kedudukannya sejajar dengan bahasa Melayu, Jawa, dan Dayak. Baik bahasa Banjar modern maupun Banjar purba, kosa kata dari kedua bahasa tersebut masih lazim digunakan hingga hari ini. Berikut adalah perbandingan sejumlah kosa kata Bahasa Banjar dengan bahasa lain yang mempengaruhinya:

Melayu-Indonesia Baku Jawa Ngoko Dayak Ngaju Banjar
Orang Wong Uluh Urang
Air Banyu Danum Banyu
Sampah Uwuh Rutik Ratik
Rumah Omah Huma Rumah
Ikan Iwak Lauk Iwak
Nama Jeneng Aran Ngaran
Kelapa Klapa Enyuh Nyiur

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Syekh Husein Kedah al-Banjari
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (kiri), dan keturunannya yang menjadi mufti Kedah di Semenanjung Melayu, Syekh Husein Kedah al-Banjari (kanan)

Adapun penyebab bahasa Banjar didominasi oleh pengaruh Melayu adalah berkat gerakan dakwah dan Islamisasi oleh Kesultanan Banjar. Sejak masa pra-Islam, Pangeran Samudera telah pun menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan Jawi alias Arab Melayu saat menulis surat permohonan bantuan kepada Sultan Trenggana dari Demak. Tradisi "berdakwah dengan bahasa Melayu" tampaknya sudah menjadi suatu tradisi di seluruh Nusantara kala itu, termasuklah Banjar. Penggunaan bahasa Melayu mengalami lonjakan tatkala Banjar mencapai masa kejayaannya sebagai pusat kebudayaan dan kegiatan intelektual Islam bagi Kalimantan terutama pada masa pemerintahan Sultan Tamjidullah (1734 – 1749 M), sebab pada masa inilah hidup seorang ulama besar yang sangat berpengaruh di Nusantara yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau juga disebut Datu Kelampayan. Tersebarnya karya-karya beliau seperti kitab Sabilal Muhtadin lit-Tafaqquh fi Amrid-Din yang ditulis menggunakan bahasa Melayu menyebabkan terjadi perindahan massal orang Melayu ke Banjarmasin demi mempelajari agama di bawah bimbingan Syekh al-Banjari. Ulama Banjar lain yang juga berpengaruh adalah Syekh Muhammad Nafis, yang mengarang kitab Ad-Durrun Nafis dalam bahasa Melayu.

Meski masyarakat Banjar berasal dari Dayak dari sisi genetika, faktanya bahasa Banjar justru lebih berkerabat dengan bahasa Melayu dan Jawa. Riset dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan bahwa bahasa Banjar dan bahasa Dayak Ma’anyan memiliki perbedaan sebesar 95%. Sedangkan situs ethnologue menunjukkan bahwa kesamaan leksikal bahasa Banjar dengan bahasa Ngaju hanya 35%. Mungkin saja hal ini terjadi akibat minimnya pengaruh kesusastraan Ma'anyan dalam lingkungan Banjar, karena pada hakikatnya, bahasa-bahasa Dayak memang merupakan bahasa lisan yang tidak mengenal sistem aksara.


Begitulah sejarah pembentukan identitas Banjar yang lahir dari asimilasi Dayak, Melayu, dan Jawa. Adanya urang Banjar di tengah-tengah lingkungan Indonesia dan Malaysia menjadi bukti bahwa bangsa kita telah lama menjalin hubungan persaudaraan antara satu sama lain meski belum disatukan dalam bingkai NKRI ataupun Malaysia.

Daftar Pustaka

Daud, Alfani. 1997. Islam & Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Helim, Abdul. 2020. Menelusuri Pemikiran Hukum Ulama Banjar Kontemporer. Malang: Intelegensia Media.

Ideham, M. Suriansyah dkk. 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

Jamalie, Z. (2014). Akulturasi dan Kearifan Lokal dalam Tradisi Baayun Maulid pada Masyarakat Banjar. el-Harakah, 16(2), 234-254.

Sahriansyah. 2015. Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar. Banjarmasin: IAIN Antasari Press.

Sudianto, Kinurung Maleh & Hadi Saputra. (2023). Kemunculan Raja Nansarunai dalam Pusaran Ibu Kota Negara. Jurnal Teologi Pambelum, 2(2), 34-50.

Yasin, Moh. Fatah. Asal Usul Bahasa Banjar (Tinjauan Historis Komparatif). Banjarmasin: ULM E-prints.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persaudaraan Aceh dengan Perak dan Pahang dalam Sejarah

130 Tahun Pasang Surut Hubungan Aceh-Johor