Peran Palembang sebagai Pusat Kebudayaan Islam
Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,
Sudah menjadi pengetahuan umum mengenai peran masyhur kerajaan Sriwijaya dengan ibukotanya-yang pernah berada di-Palembang sebagai pusat keagamaan Buddha sedunia. Sedangkan bagi pusat keagamaan Islam, yang muncul di benak kita saat memikirkannya sudah tentu Aceh. Namun, di dunia ini tidak ada yang abadi selain Tuhan Yang Maha Esa, begitu pula pengaruh Aceh yang merosot pasca kemangkatan Sultan Iskandar Thani. Hal yang mengejutkan adalah bagi Sumatra, kedudukan Aceh digeser oleh wilayah dari selatan yang comeback dari kejatuhannya untuk menjadi pusat keagamaannya kali kedua. Ya, Palembang juga pernah menjadi pusat keislaman yang penting dalaam sejarah! Sayangnya, peran kampung Parameswara-sang pendiri Kesultanan Melaka-sebagai pusat Islam ini kurang diketahui oleh ramai orang. Karena itulah di sini penulis akan membahas mengenai peran mantan ibukota Sriwijaya yang menjadi pusat keagamaan Islam.
Kebangkitan Palembang
![]() |
| Ilustrasi kota Palembang saat diserang oleh VOC di era Pangeran Seda ing Rejek |
Motivasi yang memicu kebangkitan Palembang untuk menjadi sebuah kesultanan yang berpengaruh adalah apabila Palembang mengalami konflik dengan VOC Belanda pada masa pemerintahan Pangeran Seda ing Rejek. VOC melakukan tindakan-tindakan yang tidak disenangi oleh baginda saat kompeni bercokol di pelabuhan Palembang dengan alasan berdagang. Akibatnya, peperangan pun berlaku dengan hasil yang justru menempatkan VOC sebagai pemenang. Sebagai pemimpin kerajaan yang masih lemah pada masanya, penerus takhta Palembang yaitu Ki Mas Hindi kemudian berusaha membangkitkan kembali Palembang dengan menjalin hubungan diplomasi dengan penguasa Mataram serta membuat kontrak dengan VOC Belanda agar meredakan permusuhan. Pada masa Ki Mas Hindi inilah Palembang dijadikan sebagai sebuah kerajaan Islam tatkala baginda mengubah gelar Ki menjadi Sultan. Baginda sendiri menggunakan gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mu'minin Sayyidul Imam sejak tahun 1675. Penggunaan gelar sultan juga bermaksud untuk memerdekakan Palembang dari pengaruh Mataram di Jawa serta menempatkan posisi kedaulatannya yang setara dengannya.
Dengan memproklamirkan bentuk baru kerajaannya dengan agama Islam sebagai agama resminya, ajaran-ajaran Islam lambat laun meresap ke dalam kehidupan Melayu-Jawa serta menjadi acuan dasar dalam penataan istana. Di bawah pemerintahannya selama 40 tahun yakni dari 1662 hingga 1706, baginda berhasil menegaskan kepada dunia bahwa Palembang mampu menguatkan kedaulatannya meski telah digoncang oleh kuasa barat. Adapun bagi wilayah kedaulatannya, Palembang di masa kesultanan merangkumi seluruh provinsi Sumatra Selatan dan Bangka Belitung modern, serta sebagian dari Bengkulu dan Lampung.
Ulama dan Intelektual Islam
- Syuhabuddin bin Abdullah Muhammad al-Falimbani
- Kemas Fakhruddin al-Falimbani
- Abdussamad al-Falimbani
- Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin
- Kemas Muhammad bin Ahmad
- Sultan Mahmud Badruddin II
- Pangeran Panembahan Bupati
- Muhammad Ma`ruf bin Abdallah
- Ahmad bin Abdallah
- Kiyai Rangga Setyanandita Ahmad
Jasa dan Peran Sultan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, para pengarang kitab tidak hanya terdiri dari ulama, melainkan terdapat pula sultan Palembang sendiri yaitu Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1821). Dari kecil, baginda telah berguru kepada lima orang ulama termasuklah Syekh Al-Falimbani. Seperti yang disebutkan oleh Woelters, Sultan Mahmud Badaruddin II bukan hanya terkenal sebagai pahlawan perang Palembang-Belanda dan Inggris, melainkan juga merupakan sosok yang cerdik, berpendidikan, organisator, diplomat ulung, dan juga memiliki minat yang tinggi dalam dunia kesusastraan.
Meski pada akhirnya Palembang di bawah pimpinan Sultan Mahmud Badaruddin II berhasil diruntuhkan oleh Belanda dan Inggeris dengan cara yang kotor, nilai-nilai keislaman yang telah disuntikkan ke dalam jiwa rakyat Palembang, sehingga wilayah Sumatra Selatan turut bergabung ke dalam lingkungan adat Melayu-Minang-Aceh yang mana sinonim beragama Islam. Artinya, apabila seseorang murtad atau keluar dari Islam, maka keluarlah dia dari Melayu.
Daftar Pustaka
Faturrahman, Oman & Jajat Burhanudin. 2011. “Tradisi dan Wacana Intelektual Islam” dalam Indonesia dalam arus sejarah : Jilid 3 (Kedatangan dan Peradaban Islam), 144-179. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Hadi WM, Abdul, dkk. 2015. Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 1: Akar Historis dan Awal Pembentukan Islam. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.
Nawiyanto & Eko Crys Endrayadi. 2016. Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budayanya. Jember: Jember University Press.




Komentar
Posting Komentar