Bukan Kubah! Inilah Ciri Khas Masjid Tradisional Bangsa Nusantara


Bukan Kubah! Inilah Ciri Khas Masjid Tradisional Bangsa Nusantara


Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,
Sebagai rumah ibadah bagi agama kedua terbesar di dunia yaitu Islam, masjid memiliki banyak bentuk arsitektur yang disesuaikan mengikut kebudayaan daerah di seluruh bumi. Berbicara soal arsitektur masjid, pasti bentuk yang muncul di benak kebanyakan orang adalah memiliki atap berbentuk kubah. Tahukah saudara, bentuk kubah sebenarnya bukanlah budaya kita dan baru dipopulerkan sejak abad ke-20. Lalu, bagaimana bentuk atap masjid bangsa kita yang asli? 
Bukan Kubah! Inilah Ciri Khas Masjid Tradisional Bangsa Nusantara
Atap masjid khas Nusantara sebenarnya memiliki bentuk limas, yaitu seperti piramida dengan tingkat berjumlah tiga. Bentuk atap ini dipelopori oleh para Wali Songo sebagai salah satu strategi bijaksana mereka untuk dakwah, yaitu melalui pendekatan kultural. Pendekatan di sini bermakna budaya-budaya Hindu-Buddha digunakan sebagai media dakwah, seperti wayang kulit dan gamelan. Metode ini dilakukan agar masyarakat Hindu khususnya di Jawa mudah menerima Islam tanpa adanya permasalahan budaya.

Adapun ide untuk masjid dengan atap berjumlah tiga ini diambil dari bangunan suci umat Hindu Jawa-Bali yaitu pura. Setiap bangunan pura wajib memiliki atap yang berjumlah ganjil yaitu dari 3 hingga 11. Dari jumlah tersebut, Wali Songo membangunkan masjid dengan atap tumpeng bertingkat 3. Cara mereka berdakwah adalah dengan menananmkan falsafah baru, yang mana tiga tingkat pada bangunan masjid mencerminkan tiga prinsip Aqidah Islamiyah, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan sesuai sabda baginda Rasulullah ﷺ.
Pura di Bali. Foto: unsplash.com/@sergioandreleal
Saidina Umar Radhiyallahu anhu menyebutkan bahwa pada suatu ketika beliau duduk bersama Rasulullah dalam suatu majlis, Rasulullah  pernah didatangi oleh malaikat Jibril yang menjelma menjadi seorang lelaki berpakaian serba putih. Lelaki itu duduk persis di hadapan Rasulullah dan bertanya tentang Islam, Iman, dan Ihsan kepada baginda. Baginda kemudian menjawab seperti berikut:-
“Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa ramadhan dan berhaji ke Baitullah jika engkau mampu”.
“Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati.
“(Ihsan) yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. 
(HR. Muslim) 
Masjid beratap tiga tingkat ini ternyata membuahkan hasil yang besar bagi Wali Songo dalam mengislamkan Jawa. Arsitektur khas Jawa ini disesuaikan pula dengan kebudayaan masyarakat setempat, seperti Masjid Agung Kota Tinggi yang dihiasi dengan motif dan ukiran Kerinci, dan Masjid Kampung Laut dengan gaya arsitektur Melayu. Jika Indonesia memiliki Masjid Agung Demak sebagai salah satu masjid tertua, maka Malaysia sebagai negara serumpun pula memiliki Masjid Kampung Laut sebagai masjid tertua yang masih berdiri kokoh. Tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan secara akurat kapan masjid ini didirikan, namun ada perkiraan bahwa masjid ini telah beroperasi sejak abad ke-14. Uniknya, dipercayai bahwa orang-orang yang membangun masjid ini sama dengan yang membangun Masjid Agung Demak dengan bentuk arsitektur dan teknik yang sama. Ya, Wali Songo! Mereka membangunan Masjid Kampung Laut saat transit di Kelantan dalam perjalanan mereka dari Jawa menuju ke Champa di Indochina. Desain ini diikuti oleh banyak masjid-masjid era berikutnya yang berdiri di Semenanjung Melayu.
Bukan Kubah! Inilah Ciri Khas Masjid Tradisional Bangsa Nusantara
Masjid Kampung Laut, Kelantan merupakan masjid tertua di Malaysia. Foto: facebook.com/MasjidKampungLaut/
Ada juga yang menyebutkan bahwa Masjid Kampung Laut lebih tua dari Masjid Agung Demak. Hal ini dikarenakan wilayah pantai timur Semenanjung Melayu lebih awal menerima Islam dibanding Jawa, ditambah lagi Kelantan pernah menjadi tempat tinggal Syekh Jumadil Qubro, yang merupakan pendahulu dari Wali Songo. Sehingga memungkinkan bahwa masjid yang dibangun pada tahun 1349 ini lebih tua dari Masjid Agung Demak yang dibangun pada 1466.

Meski memiliki arsitektur yang sama, atap limas bersusun tiga ini tidak melulu menyimbolkan prinsip Islam-Iman-Ihsan, tetapi dapat juga menyimbolkan kehidupan sosial penduduk sesebuah daerah di mana masjid itu berada. Misalnya Masjid Agung Pondok Tinggi di Sungai Penuh, Jambi yang dibangun melalui gotong royong. Selain dihiasi dengan motif dan ukiran khas Kerinci, atap pada masjid yang menjadi simbol tanah Kerinci ini melambangkan tatanan hidup sosial masyarakat kerinci di Sungai Penuh. Masing-masing lapis memiliki arti seperti berikut:-
  1. Berpucuk satu, maksudnya menghormati satu kepala adat dan men- junjung tinggi kepercayaan pada Yang Kuasa.
  2. Berjurai empat, maksudnya di Dusun Pondok Tinggi ada empat jurai Pada setiap jurai ada satu orang ninik mamak (pemangku adat) dar satu orang imam (ulama). Jadi, di Dusun Pondok Tinggi ada empat orang ninik mamak dan empat orang imam.
  3. Bertingkat tiga, menunjukan bahwa masyarakat Dusun Pondok Tinge tidak pemah melepaskan seko nan tega takak, yakni pusaka tiga tingkat yang terdiri atas: pusaka tengnai, pusaka ninik mamak, dan pusaka depati.
Bukan Kubah! Inilah Ciri Khas Masjid Tradisional Bangsa Nusantara
Masjid Agung Pondok Tinggi simbol kebudayaan Islam Kerinci.
Selain berbeda filosofi, terdapat juga beberapa masjid di Nusantara yang memiliki jumlah lapisan atap yang berbeda, seperti Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman yang atapnya terdiri dari empat tingkat. Jumlah atap pada masjid peninggalan agung Kesultanan Melayu Kadriah Pontianak yang genap ini melambangkan Khulafa’ Arrasyidin, yaitu empat sahabat Rasulullah yang menjabat sebagai Khalifah usai kewafatan baginda. Mereka adalah Saidina Abu Bakar, Saidina Umar bin Khattab, Saidina Uthman bin Affan, dan Saidina Ali bin Abi Thalib. Masjid yang dibangun sejak tahun 1821 ini merupakan masjid tertua di Kalimantan Barat, dan pernah menjadi masjid terbesar di kota Pontianak sebelum dibangun Masjid Raya Mujahidin sejak 2017.
Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman di Pontianak
Itulah dia gaya arsitektur masjid-masjid khas bangsa kita. Menurut saya alih-alih mengagung-agungkan masjid-masjid jami’ yang memiliki kubah, adalah wajar jika kita mengapresiasikan masjid-masjid beratap limas sebagaimana kita mengapresiasi seni kebudayaan kita lainnya. Tidak hanya atap limas, tetapi juga masjid-masjid dengan desain khas Nusantara lainnya seperti Masjid Raya Padang yang dihiasi dengan motif songket Minangkabau juga patut kita banggakan, lebih-lebih lagi masjid tersebut telah dinominasikan sebagai masjid terindah di dunia. Apakah saudara pernah ke masjid yang beratapkan limas seperti yang disebutkan di atas? Akhir kata, berbanggalah kita sebagai bangsa muslim Nusantara, baik Indonesia maupun Malaysia, memiliki gaya arsitektur bagi rumah ibadah kita yang unik. Terima kasih dan salam serumpun!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Akulturasi Dayak, Melayu, dan Jawa Menjadi Urang Banjar

Persaudaraan Aceh dengan Perak dan Pahang dalam Sejarah

130 Tahun Pasang Surut Hubungan Aceh-Johor