Hubungan Minang-Melayu Lebih dari Serumpun
|
Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,
Siapa yang tidak kenal dengan nama Melayu dan Minang? Ya mungkin di Indonesia agak kurang lazim nama itu, orang Minang biasa disebut orang Padang, dan orang Melayu pun biasanya mengikut tempat asal mereka seperti Palembang, Jambi, Riau dan lain-lain.
Namun walaupun berbeda nama, kita masih serumpun benar tidak min? Wah, soal Melayu-Minang ini kita bukan serumpun.
Lah, tak salah min?
Bukan serumpun, tapi lebih dari itu. Dulu Melayu dan Minang itu ternyata sama saudara! Perbedaannya amat sedikit. Okelah tanpa berdrama ndak jaleh begini lagi (saya tak berbakat dalam berdrama :v), langsung kita baca sama-sama artikel hubungan sejarah Melayu dan Minangkabau di sini. Jika ada kesalahan, mohon dikritisi dengan baik ya, saudara.
Oh ya, saya pun sudah membuatkan videonya di saluran resmi Media Serumpun di YouTube untuk yang lebih suka menonton video haha.
Tapi kalau anda suka membaca, Salamaik mambaco!
Budaya Melayu VS Budaya Minangkabau
Persamaan
| Kain songket yang sama-sama dikenakan pada pakaian tradisional Minangkabau (kiri) sebagai tingkuluak, dan Melayu (kanan) sebagai kain samping |
Jika orang Jawa memiliki batik, maka orang Melayu dan Minangkabau sama-sama memiliki songket sebagai kain tradisional khasnya. Songket dipercaya telah berkembang di Kerajaan Sriwijaya. Songket juga bisa berkembang di Minangkabau karena wilayah Sumatera Barat pernah berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Terlebih lagi, Ranah Minang adalah daerah penghasil emas yang besar.
Uniknya, baju adat pria Minangkabau dan Melayu sama-sama mengenakan songket sebagai samping atau sampiang, yakni semacam sarung pendek yang menutupi sekitar daerah kemaluan. Nilai filosofisnya adalah untuk menjaga syahwat atau kegairahan sesuai ajaran Islam.
Bicara soal keagamaan, Melayu dan Minangkabau sama-sama sangat mementingkan Islam dalam beradat, bahkan memiliki prinsip yaitu apabila seseorang itu murtad atau keluar dari Islam, maka ia tidak lagi layak disebut sebagai orang Melayu/Minang. Minangkabau mempunyai prinsip “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”, sedangkan orang Melayu berpegang pada kata-kata Hang Tuah yaitu “Takkan Melayu hilang di dunia selagi berpegang teguh kepada Islam”.
Bahasa Minangkabau juga menunjukkan kekerabatannya yang jelas dengan bahasa Melayu jika kita melihat kosa katanya yang memiliki bunyi yang mirip. Misalnya perkataan 'rambut' menjadi 'rambuik', 'telinga' menjadi 'talingo', dan 'menggosok' menjadi 'manggusuak'. Terlebih lagi, kesamaan peribahasa Minangkabau dan Melayu menunjukkan bahwa kedua bangsa ini telah lama memiliki nilai budaya yang sama. Sebagai contoh, 'Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing' dalam Melayu, dan 'Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang' dalam Minangkabau.
Perbedaan
Menurut hemat penulis, perbedaan Melayu dan Minangkabau tidak bisa kita jadikan sebagai satu-satunya rujukan secara 100%, mengingat bahwa dalam kebudayaan Melayu sendiri juga ada banyak perbedaannya mengikut daerah. Misalnya kapal Lancang Kuning khas Melayu Riau, Indonesia, dan Nasi Kerabu khas Melayu Kelantan, Malaysia, yang masing-masing tidak kita temui di luar tanah asalnya.
Bagi budaya Minangkabau pula, yang paling mencolok adalah seni arsitektur Rumah Gadang, dengan bentuk atap yang melambangkan tanduk kerbau. Konon, desain tersebut dikaitkan dengan kisah kemenangan Minangkabau dalam beradu kerbau dengan Majapahit di masa dulu. Perbedaan lainnya adalah senjata karambiak atau kerambit khas Minangkabau yang bentuknya mirip taring harimau, selain memiliki keris seperti Melayu dan Jawa.
Perbedaan Melayu dan Minang yang jelas dapat dilihat dari sistem kekerabatannya, yang mana Melayu beradat patrilineal, sedangkan Minangkabau beradat matrilineal. Konon, matrilinealisme diterapkan sebagai cara menghindari serangan Majapahit yang baru bertapak di Sumatra dengan damai pada abad ke-14.
Sejarawan asal Hawaii, Andaya mengutarakan bahwa tradisi merantau adalah aspek lain yang menjadi batas etnik Minangkabau. Konon, budaya merantau dilakukan melestarikan pola hubungan matrilineal di darek (pedalaman Ranah Minang), selain untuk mengurangi kepadatan penduduk. Padahal tradisi itu justru menyebabkan matrilinealitas perantauan memudar akibat adanya hubungan dengan masyarakat patrilineal. Itulah alasan mengapa masakan Padang banyak tersebar di seluruh Indonesia, berbeda dari masakan Melayu yang kurang populer di luar Tanah Melayu.
Saudara atau Leluhur?
Nama Minangkabau digadang-gadang berasal dari kata Menang Kerbau, yang mana
tercetus saat orang-orang Sumatera Barat menang dalam beradu kerbau melawan
sebuah kerajaan yang hendak menaklukkan mereka, kononnya Majapahit, tapi
akhirnya terkalahkan. Demikianlah narasi yang terkandung dalam kitab sejarah
Tambo Minangkabau. Pihak Majapahit melalui kitab Negarakretagama juga
menyebut ada wilayah bernama Manankabwa, yang diyakini sarjana berarti
Minangkabau.
Namun, jauh sebelum Majapahit berdiri, ada sebuah tempat yang bernama Minanga. Nama Minanga disebut dalam Prasasti Kedukan Bukit peninggalan kerajaan Sriwijaya dari tahun 683. Berikut pendapat sejarawan perihal di mana letaknya Minanga:
- Menurut Purbacaraka dan Sukmono: Minanga berada di hulu Sungai Kampar
- Menurut Dr. Buchari: Minanga berada di hulu Sungai Indragiri/Batang Kuantan
- Menurut Slamet Mulyana: Minanga berada di hulu Sungai Batanghari, tepatnya di Batang Tebo
Purbacaraka juga yakin bahwa nama Minanga berarti tempat berkumpulnya orang-orang Minang. Slamet Mulyana pula menyebut Minanga adalah pusat pemerintahan Kerajaan Melayu. Ya, selain Sriwijaya, ada juga kerajaan sezaman yang tak kalah penting, yaitu Melayu atau Malayu.
Dalam bahasa sansekerta, Malayu bermakna pegunungan. Namun, nama Melayu sudah disebutkan oleh Ptolemy sebagai meleu-kolon. Apakah kerajaan Melayu mengambil namanya dari meleu-kolon? Wallahua'lam.
Untuk masa itu, penggolongan suku etnis masih sangat rancu, sehingga yang ada hanyalah klasifikasi mengikut entitas politik. Oleh karena itu, penghuni Kerajaan Melayu, dapat disebut sebagai orang Malayu. Melalui kitab Negarakretagama, orang-orang Jawa Majapahit di abad ke-14 juga memanggil seluruh pulau Sumatra sebagai Bumi Melayu, termasuklah daerah Minang dan bahkan Batak. Dari sinilah etnis Melayu yang berbahasa Upin Ipin mendapat namanya.
Yang menjadi masalah adalah walaupun kerajaan Malayu disebut berpusat Minanga, pengaruh Malayu di masa awalnya tidak sampai ke daerah Sumatera Barat modern yang menjadi basis kebudayaan Minangkabau modern. Malayu sendiri adalah pecahan dari kerajaan koying yang berpusat di tanah Kerinci. Sebelum ekspansi Koying, konon ada kerajaan-kerajaan Kandis, Koto Alang, Jambi Kuno dan Kancil Putih yang berdiri di wilayah Malayu.
Di sisi lain, orang-orang Sumatera Barat mengembangkan peradaban mereka sendiri yang berdasar pada kebudayaan Luhak Nan Tigo sejak tahun-tahun sebelum masehi. Kemungkinan dari peradaban itulah muncul legenda yang mengatakan bahwa orang Minang adalah keturunan dari Iskandar Zulkarnain dan berasal dari Gunung Marapi. Mereka bertahan tanpa sistem kerajaan sampailah Sriwijaya datang menakluki mereka, barulah Malayu mengambil alihnya saat menaklukkan seluruh wilayah Sriwijaya.
Bahkan, peradaban Sumatera Barat muncul jauh lebih duluan dari nama Minanga, yaitu di abad ke-2 Masehi. Hanya saja, mereka belum disebut sebagai Minang, karena Minanga saat itu merujuk pada pusat pemerintahan Malayu. Apalagi kononnya Kerajaan Kandis adalah kerajaannya orang Minang, atau Minanga kemungkinan.
Lalu bagaimana budaya di Malayu? Diperkirakan bahwa budaya Minang dan Melayu di zaman itu masih sama, tidak ada bedanya, bahkan membedakans orang Minanga dan orang Melayu di masa itu terbilang hampir mustahil. Apalagi Malayu dan Sriwijaya saling mempengaruhi antara satu sama lain.
Kira-kira di tahun 683, Sriwijaya menaklukkan Malayu dengan keberhasilan menguasai Minanga Tamvan. Kemudian di awal abad ke-11 setelah Sriwijaya dilemahkan akibat invasi cola, Malayu yang berbalik menaklukkan Sriwijaya. Saat itu ibukota Malayu sudah pindah ke Dharmasraya entah karena efek serangan Chola, sehingga Malayu di masa itu lebih dikenal sebagai Dharmasraya. Tunduknya Sriwijaya ke Malayu-Dharmasraya menyebabkan orang-orang Malayu banyak mengadopsi budaya Sriwijaya. Mungkin saja karena inilah songket dibawa dari Sriwijaya ke Malayu, dan dikembangkanlah menjadi songket Minangkabau.
Perlu kita ketahui bahwa budaya sesebuah bangsa itu dipengaruhi oleh kondisi geografis tempat tinggalnya. Di sinilah dia masalahnya. Pulau Sumatera terpisahkan menjadi bagian timur dan barat oleh Bukit Barisan. Keberadaan Bukit Barisan telah menghambat kontak antara orang-orang di timur dan barat untuk menjaga keseragaman budaya, sehingga lambat laun, budaya di timur dan barat pun berdiferensiasi.
Akibat dari kondisi geografis itu, muncullah kerajaan-kerajaan kecil di bagian barat Sumatera tengah, di antaranya adalah Inderajati, Pariangan, Sungai pagu, dan siguntur, serta kemunculan kembali Luhak Nan Tigo sebagai sebuah konfederasi. Bisa disebut bahwa berdirinya kerajaan-kerajaan diakibatkan oleh terpisahnya budaya, perdagangan, dan kehidupan dengan bagian timur sumatera oleh Bukit Barisan. Namun, budaya Minangkabau yang berbeda dari Melayu baru muncul saat berdirinya sebuah kerajaan yang istananya kelak menjadi ikon orang-orang Minang, yang tak lain adalah Pagaruyung.
Politik Adityawarman
“Ia adalah seorang penutup masa lalu…yang patut disebut pengganti Sriwijaya, yang menjadi pendahulu negara Melayu yang berpusat di Melaka”
~Uli Kozok dalam Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah
Di abad ke-13, fokus sejarah Nusantara beralih ke sebuah kerajaan baru di
Jawa yang baru saja berhasil memukul mundur pasukan Mongol, Majapahit.
Kerajaan Majapahit disebut2 berambisi untuk menguasai seluruh Nusantara
termasuk Sumatera. Maka dari itu, Majapahit mengirimkan Adityawarman untuk
menaklukkan Malayapura sebagai kerajaan terbesar.
Adityawarman sendiri adalah tokoh campuran Sumatera Jawa, yang mana ibu dan ayah beliau bertemu melalui keberhasilan ekspedisi pamalayu. Ekspedisi yang dilancarkan oleh Singhasari selaku pendahulu Majapahit itu memang bertujuan untuk membendung serangan mongol, dan juga ancaman kerajaan Sukothai yang berhasil menduduki Semenanjung Melayu.
Dari ekspedisi itu, bunda adit dibawa ke Jawa dan lahirlah adit di situ. Beliau pun dibesarkan dalam lingkungan Jawa sampai saat beliau ditugaskan ke Sumatera bersama Gajah Mada. Gajah Mada pergi ke negeri-negeri Sumatera bagian utara seperti Pasai, Lamuri, Tamiang dan Aru, sedangkan Adityawarman fokus di daerah Sriwijaya dan Malayu, yang saat itu berubah namanya menjadi Malayapura.
Hanya saja sesampainya di Sumatera, Adityawarman bukannya memasukkan Malayapura ke dalam Majapahit, tapi malah memproklamirkan dirinya sebagai raja dari negeri yang merdeka keseluruhan dari pengaruh Jawa. Keputusan beliau dibuktikan dengan penambahan gelar Maharajadiraja pada namanya dalam Prasasti Amoghapasa. Gelar itu bermakna raja dari segala raja, artinya kedudukan Adityawarman adalah setara dengan Raja Majapahit, bukan di bawahnya. Di situ juga Adityawarman menyebutkan nama kerajaannya sebagai Malayapura yang berarti kotanya Malayu, sebagai penegasan bahwa beliau memang penerus dari kerajaan Malayu-Dharmasraya.
Kenapa si adit berbuat demikian? Alasan simpelnya karena beliau keturunan raja Malayu. Konsekuensinya ya beliau harus mengorbankan kesetiaannya dengan Jawa demi melanjutkan kejayaan negeri ibunya, atau mungkin juga beliau punya dendam terhadap Majapahit. Yang pastinya adalah, tentu lebih menguntungkan untuk menjadi raja yang berdaulat daripada sekadar jadi gubernur atau pemimpin daerah yang tunduk di bawah telunjuk raja lain.
Tindakan Adityawarman dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Majapahit, sehingga mendapat respon yang keras dari raja Majapahit yaitu Hayam Wuruk. Hayam Wuruk segera mengirimkan pasukan untuk menundukkan kembali daerah kekuasaan Adityawarman. Sebelum kedatangan armada Majapahit, Adityawarman telah berantisipasi dengan memindahkan ibu kotanya dari Dharmasraya ke Suruaso, atau Pagaruyung bagi menghindari konfrontasi secara langsung. Perpindahan itu menyebabkan nama kerajaan Malayapura berubah menjadi Pagaruyung. Letak Suruaso di Kawasan pedalaman yang tinggi menyebabkan pasukan Majapahit sulit mengejarnya, sehingga hanya wilayah timur yang berhasil direbut Majapahit.
Perpindahan ibukota guna menangkis serangan memanglah hal yang lumrah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di masa lampau. Hanya saja, perpindahan ibukota Malayapura ini memberikan dampak yang lebih besar, yaitu pergeseran budaya. Kenapa? Karena lokasinya di kawasan pedalaman yang tinggi. Alhasil, berlaku hukum geografi mempengaruhi budaya, yang mana Malayapura atau nama barunya yaitu Pagaruyung lambat laun tak lagi mengikuti arus perkembangan budaya Melayu di pesisir timur, dan berfokus di bagian barat.
Selain faktor geografis, menyabangnya budaya Pagaruyung turut disebabkan oleh perdagangan, yang mana masing-masing kelompok bangsa di Sumatera akan memilih untuk bergabung dengan bangsa yang lebih besar, ataupun mendirikan identitas sendiri guna meraih keuntungan yang lebih. Sebagai penegasan bahwa bangsa Pagaruyung tak lagi beridentitas Melayu, mungkin saja mereka mengangkat budaya-budaya negeri-negeri pesisir barat yang sudah saya sebutkan tadi, serta penggunaan nama Minangkabau. Dan untuk nama Minangkabau sendiri, tak mustahil jika apa yang terkandung dalam Tambo itu benar bahwasanya Minangkabau itu dari Menang kerbau, hanya saja baru diangkat kembali dan dicocok-cocokkan dengan nama Minanga. Sebaliknya, nama Minanga di bagian timur seperti Riau, Jambi, Palembang, kian ditinggalkan karena yang digunakan adalah istilah oranag Melayu.
Baik penguasa maupun rakyat Pagaruyung, mereka percaya bahwa mereka mewarisi kesaktian Adityawarman, sehingga persentuhan dengan kelompok etnolinguistik lainnya menyebabkan menguatnya hayat keminangkabauan. Sikap mereka dapat dilihat melalui penyebaran surat-surat serta duta resminya ke berbagai penjuru. Konon, surat-surat tersebut berikut para duta sebagai penyampai diresapi oleh kesaktian penguasa Pagaruyung. Misalnya dalam menjalankan hubungan ekonomi dengan VOC Belanda.
Bercokolnya VOC di pesisir Pagaruyung berawal dari kesempatan untuk mengusir pengaruh Aceh bagi menarik simpati Minangkabau, sehingga hubungan diplomasi di kedua pihak muncul. Baik pihak VOC maupun penguasa Pagaruyung sendiri, sang raja selalu menyebut dan mengakui sebagai “Maharajadiraja Minangkabau” atau “Keizer Minangkabau” terhadap seluruh nagari-nagari kecil di Ranah Minang melalui penyuratan dan pengiriman duta resmi.
Hubungan Minangkabau dan Melayu
|
|
| Muzium Negeri Sembilan, Malaysia, berarsitektur khas Minangkabau yang mencerminkan Negeri Sembilan sebagai sebuah daerah berketurunan Minangkabau |
Negeri Sembilan yang terletak di Malaysia adalah bukti dari terjalinnya hubungan antara Minang dan Melayu setelah kedua identitas itu berpisah. Berbekal prinsip “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, para perantau Minang yang diperkirakan telah hadir sejak abad ke 12 berbaur dengan penduduk aslinya sehingga lahir suku baru seperti Biduanda, Paya Kumboh, dan Mungkal yang tidak ada di Sumatra. Sebagian nama suku tersebut diambil dari kampung asal mereka, seperti Payakumbuh dan Tanah Datar.
Meski mereka tunduk pada kekuasaan Raja Johor, mereka tetap menjaga pertaliannya dengan Siak sebagai daerah perantauan lainnya sekaligus transit-nya sebelum menyeberangi Selat Melaka. Mereka juga memilih pemimpinnya langsung dari Pagaruyung, seperti ketika Raja Melewar didatangkan untuk merajai Negeri Sembilan saat dilanda konflik dengan Bugis.
Kisah Raja Kecil dan yang memisahkan Siak (kini provinsi Riau) dari Johor adalah salah satu episode menarik dalam sejarah hubungan Minang-Melayu. Hikayat Siak mengklaim bahwa Raja Kecil adalah pewaris sah dari Sultan Mahmud II yang dibunuh akibat ketidakstabilan pemerintahan, menyebabkan ia dilarikan ke Pagaruyung. Namun kisah tersebut ditolak oleh sejarawan Amerika, Jim Baker yang lebih menyetujui isi Tuhfat Al-Nafis karangan Raja Ali Haji, di mana Raja Kecil disebut berasal dari Pagaruyung.
Terlepas dari asal usulnya yang masih abu-abu, orang-orang Melayu Johor percaya bahwa Raja Kecil adalah putra Minang Pagaruyung. Penulis berspekulasi bahwa anggapan tersebut muncul karena kesamaan kultural dari pasukan Raja Kecil dengan penduduk Negeri Sembilan beserta sikap mereka yang setia pada Pagaruyung. Kuatnya solidaritas Minangkabau di perantauan dan di kampung halamannya membuat identitas ini kekal bertahan hingga sekarang meski Pagaruyung runtuh pada 1833.
Bagaikan Dua Daun dari Pohon yang Sama
Perkembangan kebudayaan di Nusantara yang beraneka ragam tidak lepas dari kondisi sosial setiap kerajaan di Nusantara serta kehidupan politiknya yang berbeda. Dalam kasus kebudayaan Melayu sendiri, budaya Melayu Palembang Darussalam berbeda dari budaya Melayu Johor Darul Ta’zim, begitu pula budaya Melayu Deli Darul Maimun dengan budaya Melayu Brunei Darussalam, meski masih berada dalam satu lingkup identitas Melayu.
Sebenarnya, fenomena serupa juga berlaku untuk Pagaruyung Darul Qarar. Namun perlu diingat bahwa faktor ekonomi juga berperan penting dalam etnisitas. Memilih untuk bertukar identitas demi kepentingan adalah praktik yang lazim di Selat Melaka di zaman itu. Dalam kasus Minangkabau, orang-orang yang mengindahkan kehendak para penguasa Pagaruyung, yang menjadi unsur pembangun adat Minang, akan memperoleh manfaat serta perlindungan dari perdagangan emas dan ladanya.
Bagi penulis, kalaupun tidak termasuk ke dalam etnis Melayu akibat perbedaan yang terlalu mendalam, Minangkabau setidaknya masih dapat digolongkan dalam kategori rumpun Melayu sebagaimana bangsa Banjar, yang budaya dan bahasanya masih berkerabat dengan Melayu.
Walaubagaimanapun meski menganggap Minangkabau dan Melayu sebagai etnis yang berbeda adalah wajar, penulis mendeskripsikan hubungan mereka melalui ungkapan yang diambil dari judul sebuah buku karya Andaya, yaitu “bagaikan dua daun dari pohon yang sama”.
Dalam arti lain, Minangkabau dan Melayu tetaplah dua bangsa yang serumpun!
Anastasia Wiwik Swastiwi, Pelalawan: Dari Pekantua ke Kabupaten Pelalawan, Tanjungpinang: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2011.
Andaya, Leonard Y. Selat Malaka: Sejarah Perdagangan dan Etnisitas. Terjemahan Aditya Pratama. Depok: Komunitas Bambu, 2008.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Sumatra Barat, Jakarta: Balai Pustaka, 1978.
Edwar Jamaris. Tambo Minangkabau: Suntingan Teks Disertai Analisis Struktur. Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Kozok, Uli. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor, 2006.
Kusumadewi, Sri Ambarwati. (2012). Adityawarman. (Tesis Master, Universitas Indonesia). https://lib.ui.ac.id/detail?id=20322904&lokasi=lokal
Mardiyono, Peri. Sejarah Kerajaan Bawahan Majapahit: Di Luar Jawa dan Luar Negeri. Yogyakarta: Araska Publisher, 2023.
Muljana, Slamet. Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS, 2006.
Suhadi, Machi dkk. 2011. “Perdagangan dan Politik” dalam Indonesia dalam Arus Sejarah : Jilid 2 (Kerajaan Hindu-Buddha), 106-153. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Aulia Tasman, Menelusuri Jejak Kerajaan Melayu Jambi dan Perkembangannya, Kepala Perpustakaan Universitas Jambi, (Gaung Persada Press Group) Jakarta, 2016.



Komentar
Posting Komentar