Tinta Emas Melayu Pattani, Sebuah Kenangan


Bangsa Melayu Pattani adalah salah satu dari bangsa kita yang masih memperjuangkan kemerdekaannya

Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Etnis Melayu adalah salah satu etnis dengan pengaruh terbesar di Asia Tenggara. Di era modern ini, orang-orang Melayu kerap diketahui menempati 4 negara yaitu Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Brunei. Tetapi tahukah saudara tak hanya itu, terdapat satu lagi komunitas Melayu yang jarang diketahui eksistensinya, yaitu Melayu Pattani yang mendiami wilayah Thailand Selatan. Seperti halnya negara-negara saudaranya, Pattani sebenarnya memiliki sejarah yang sangat hebat untuk kita ketahui. Namun apalah daya semua kejayaan itu kini tinggal kenangan, terlebih lagi banyak catatan-catatan sejarah Pattani yang musnah untuk mempermudah keberlangsungan proses penjajahan hingga saat ini. Sebut saja anak-anak muda Pattani yang lebih nyaman berbahasa Thai daripada melestarikan bahasa aslinya: bahasa Melayu. Oleh karena itu penulis ingin mengajak kita semua, terutama saudara serumpun dari Thailand selatan untuk menghayati kembali sejarah peradaban Melayu Pattani.

Langkasuka Masyhur dalam Sejarah

Ilustrasi kota Langkasuka di pinggir laut yang dilindungi tembok-tembok yang kokoh
Ilustrasi kota Langkasuka yang dilindungi tembok-tembok yang kokoh
Peradaban maju Melayu Pattani dimulai sejak berdirinya kerajaan Langkasuka sejak abad ke-2 Masehi yang terletak di antara provinsi Narathiwat di Thailand dan Kelantan di Malaysia. Terdapat beberapa  versi catatan berbeda mengenai pendirian Langkasuka. Menurut Hikayat Merong Mahawangsa dari  Kedah, Langkasuka didirikan oleh orang-orang Kedah, sehingga muncul pendapat yang mengatakan bahwa Kedah Tua dan Langkasuka adalah satu kerajaan yang sama. Sedangkan menurut At-Tarikh Salasilah Negeri Kedah, Langkasuka didirikan oleh Maharaja Durbar, seorang raja dari Persia. Keberadaan Langkasuka telah tercatat dalam arsip Dinasti Liang di Cina dengan nama Láng-Yá-XiÅ« (狼牙脩). Salah satu contohnya adalah seperti berikut :
"...kota kerajaan Lang-Ya-Shiu dikelilingi oleh tembok tinggi dan mempunyai dua pintu gerbang, menara-menara dan balai-balai. Raja mengendarai gajah dan dibayangi dengan payung putih dan pengibas. Raja diiringi oleh bendera-bendera, panji-panji dan gendang..." 
Penduduk Langkasuka sendiri merupakan bangsa Melayu-Austronesia dengan percampuran darah pedagang Arab dan India, yang melahirkan keturunan manusia Melayu Pattani modern. Langkasuka memiliki hubungan diplomatis yang baik dengan dinasti Cina, ditandai dengan pengiriman beberapa upeti sepanjang tahun 502 hingga 568. Emas dan timah sebagai hasil buminya telah mewujudkan kehidupan ekonomi yang sangat baik bagi rakyatnya, serta menjadikannya sebagai salah satu pusat perdagangan terpenting di dunia. Konon, Langkasuka bahkan menjadi pengespor rempah-rempah Nusantara untuk Kekaisaran Romawi.

Langkasuka beralih dari agama Hindu ke Buddha tatkala takluk kepada Sriwijaya pada abad ke-8. Pengaruh Sriwijaya sekaligus telah membawa dan mengembangkan bahasa Melayu ke Langkasuka. Besarnya upeti yang dikirim oleh Langkasuka membuktikan kekayaan dan kemakmuran negeri tersebut.

Negeri Ulama

Masjid Telok Manok di Narathiwat (Menara), merupakan masjid tertua di Thailand yang berusia lebih dari 300 tahun. Merupakan peninggalan Kesultanan Patani dengan arsitektur khas Melayu Pattani
Masjid Telok Manok di Narathiwat (Menara), merupakan masjid tertua di Thailand yang berusia lebih dari 300 tahun. Merupakan peninggalan Kesultanan Patani dengan arsitektur khas Melayu Patani. Foto : Wikimedia Commons/psu.mooc

"Nama Pattani berasal dari
Al-Fathoni dalam bahasa Arab yang berarti 'intelektual' karena banyak melahirkan ulama Islam"
Musnahnya catatan-catatan sejarah Pattani oleh penjajah menyebabkan sejarah Islamisasinya masih diragukan. Menurut Hikayat Patani, pengislaman bermula sejak Islamnya raja Phya Tu Naqpa oleh Sheikh Said Barsisa dari Samudera-Pasai (kini Aceh) pada tahun 1457, melalui sebuah perjanjian di mana Raja Langkasuka harus memeluk Islam ketika Sheikh Said berhasil menyembuhkan penyakit sang raja, meski sehingga tiga kali karena pengingkaran yang dilakukan baginda. Perkiraan lain yang dihujahkan oleh sejarawan Malaysia seperti Mohammad Fadli Ghani mengatakan bahwa Islam sudah hadir sejak tahun 658 M serta pengaruh dari negeri tetangga yang Islam seperti Kedah (1136), Kelantan (1181), dan Terengganu (1303). Peneliti dan penjelajah asal Spanyol, Emanuel Godinho de Eredia pada abad ke-16 pula menyebut bahwa Pattani lebih dahulu menerima Islam dibanding Melaka.

Setelah memeluk Islam bersama keluarga dan pembesar istana, baginda bergelar Sultan Ismail Shah dan mengganti nama Langkasuka menjadi Pattani. Nama Pattani diambil dari perkataan “pantai ini”, mengingat perubahan posisi pusat kekuasaan yang berpindah ke pantai. Riwayat lain menyebut bahwa nama Pattani diambil dari “Pak Tani”, yakni seorang petani sekaligus pedagang di pantai yang bertemu dengan Raja Phya saat mencari lokasi baru. Perpindahan pusat pemerintahan tersebut mendatangkan keuntungan yang besar yakni ramainya kegiatan perdagangan internasional lantaran kedudukannya yang strategis. Bagi menghindari penafsiran yang salah perihal namanya, Pattani kemudian diubah menjadi Fathani oleh ulama Pattani, Syekh Wan Ahmad Mohamad Zain al-Fathani pada 1786.

Besarnya peran ulama dalam administrasi kerajaan telah membawa Pattani ke derajat yang tinggi dengan peran sebagai pusat intelektual Islam yang menggantikan Melaka. Keistimewaan Pattani dalam bidang pendidikan ini membuat negeri ini memperoleh gelar-gelar seperti Darussalam, Serambi Mekkah, bahkan Baitul Hikmah. Negeri Pattani Darussalam kemudian melahirkan ramai ulama-ulama Melayu yang sangat berpengaruh, seperti Syeikh Wan Ahmad Al-Fathoni dan Syeikh Daud Al-Fathoni yang juga berprofesi sebagai ilmuan besar dalam bidang filologi, sains dan teknologi, serta panglima jihad. Konon, para penuntut ilmu yang ingin belajar ke Timur Tengah pasti akan belajar di Pattani terlebih dahulu.

Empat Ratu Masa Kejayaan

Gambaran Ratu Pattani menerima delegasi dari Turki dan Eropa
Gambaran Ratu Pattani menerima delegasi asing
Berbeda dari Aceh yang merosot saat diperintah oleh sultanah, Pattani justru mengalami sebaliknya apabila Ratu Hijau menduduki takhta pada 1584. Pengangkatan Ratu Hijau yang dilakukan karena ketiadaan pewaris lelaki dari Sultan Badrul Shah (1573-1584) membawa keberkahan kepada Pattani dengan bermulanya sebuah fase keemasan. Di bawah pemerintahan Ratu Hijau, Pattani menjalinkan hubungan yang baik dengan kekuatan-kekuatan besar di dunia seperti Belanda, Jepang, Turki, dan banyak lagi. Bahkan Belanda diperintahkan untuk membantu membangunkan pelabuhan Pattani menjadi salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara. Pembangunan lainnya adalah pembuatan Terusan Tambangan yang menyuburkan sawah-sawah Patani. Karisma yang dimiliki oleh Ratu Hijau menjadikan beliau digelar sebagai Phra Nang Cao Yong oleh orang-orang Siam.

Kesuksesan Ratu Hijau telah diteruskan oleh Ratu Biru (1616-1624) sebagai seorang diplomator hebat yang menjadi penengah antara konflik dagang Belanda-Inggris. Kemudian ada pula Ratu Ungu (1624-1635) yang berani menentang kesombongan Siam dan merapatkan hubungan persaudaraan antara Pattani dengan kerajaan-kerajaan Melayu Islam lainnya. Dan yang terakhir ada Ratu Kuning (1635-1699) yang menguatkan ekonomi Pattani dengan penuh amanah serta berjasa mengembangkan Pattani menjadi pusat kebudayaan Melayu.

Di sisi militer, Patani muncul menjadi sebuah kuasa besar yang sangat disegani di Asia Tenggara, dengan bukti kemenangannya terhadap Ayutthaya berturut-turut pada tahun 1603, 1632, 1634, dan 1638. Sebaliknya, Pattani pernah mengirim pasukannya untuk membebaskan Ligor (kini Nakhon Si Thammarat) dari penjajahan Siam. Pattani menghasilkan 3 jenis meriam yang sangat besar, yaitu Meriam Seri Pattani, Meriam Seri Negara, dan Meriam Mahalela. Meriam-meriam tersebut didesain oleh seorang lelaki Cina Muslim yaitu Tok Kayam atau Lim To Khiam atas perintah Ratu Biru. Selain itu, Pattani juga menjadi negara penghasil keris, pedang, dan juga senapang. Ketiga meriam tersebut kini dirampas dan dipajang di halaman kantor Kementerian Pertahanan Thailand.

Persaudaraan dengan Johor-Pahang

Sultan Abdul Ghafur bersama Ratu Ungu mengetuai pasukan pertahanan dalam film Queens of Langkasuka
Sultan Abdul Ghafur bersama Ratu Ungu dalam film Queens of Langkasuka
Tak hanya menghadapi ancaman dari utara, Pattani juga memiliki hubungan yang kurang baik dengan yang berada di selatan, yaitu Johor-Pahang-Riau. Kerajaan warisan Melaka ini ternyata pernah merencanakan sebuah penyerangan ke Pattani pada 1547, namun tidak pernah terlaksanakan. Hubungan baik Pattani-Johor bermula apabila seorang putri Pattani dinikahkan dengan Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II  (1571-1597). Sumber lain menyebut bahwa putri tersebut menikahi Raja Hassan, putra Sultan Johor. Namun, hubungan kembali memanas apabila Raja Hassan membunuh adinda dan istrinya karena konflik tertentu, kemudian dibunuh pula oleh istana Pattani. Johor sekali lagi menyusun rencana untuk menyerang Pattani dengan memohon bantuan Belanda, namun ditolak lantaran panasnya kondisi Perang Segitiga melawan Portugis serta dominasi Aceh menyebabkan rencana tersebut terpaksa dikuburkan.

Hubungan Pattani-Johor kembali terjalin dengan baik pada tahun 1624 ketika takhta diduduki oleh Ratu Ungu yang bersuamikan Sultan Pahang, yaitu Sultan Abdul Ghafur. Dari pasangan itu, lahirlah Ratu Kuning. Sesuai misinya dalam mempererat persaudaraan dengan kerajaan-kerajaan Melayu lainnya, baginda berjaya berdamai dan menjalin persahabatan dengan Johor melalui penerimaan Sultan Abdul Jalil Shah III (1623-1677). Persahabatan dua kerajaan serumpun ini membuahkan hikmah yang besar di mana aliansi tersebut dengan mudah dapat menangkal serangan Siam. Persahabatan Pattani-Johor tetap berlanjut pada pemerintahan Ratu Kuning. Di tahun 1641, rombongan Sultan Abdul Jalil Johor melakukan kunjungan resmi ke Pattani dan menetap selama 3 bulan. 

Pernikahan antar kerajaan terjadi untuk ketiga kalinya usai Pattani dan Johor berhasil menamatkan konflik politik yang dihadapi sebelumnya. Kali ini pada tahun 1707, putra bendahara Johor yaitu Tun Zainal Abidin dinikahkan dengan Nang Rogaiyah, putri Raja Mas Jayam Pattani. Meski masa keemasan Pattani telah berakhir, persahabatannya dengan Johor sangat membantu Pattani untuk terus mempertahankan kedaulatannya terutama menghadapi ancaman dari Siam. Perpindahan yang intens antara penduduk Pattani ke Johor, pun penghijrahan penduduk Johor ke Pattani banyak membantu proses pertumbuhan ekonomi yang sehat. 

Demikianlah sejarah kejayaan Melayu Pattani yang patut kita ketahui. Kejayaan masa lalu Pattani ini bahkan diangkat ke layar lebar Thailand pada tahun 2008 silam. Namun karena saat itu gerakankemerdekaan Pattani sedang aktif dalam perjuangannya menentang pemerintah pusat Siam, maka fakta sejarah dalam film ini sebagiannya dipalsukan untuk menghindari kebangkitan pahlawan-pahlawan Pattani. Akhir kata, penulis ingin menyimpulkan bahwa kita semua adalah bangsa yang hebat. Baik bangsa Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, termasuklah Pattani, kita semua adalah bangsa besar yang terpisah menentukan nasib politiknya sendiri. Hanya saja Pattani masih dalam keadaan tertekan di bawah pemerintahan Siam yang egois. Apapun semoga suatu hari nanti, rakyat Pattani dapat mengembalikan masa kedamaiannya entah dengan memperoleh hak otonomi, ataupun bersatu dengan Malaysia.

Daftar Pustaka

Abbas, Moustapha. 2020. "Pattani dalam Memori Bangsa Melayu" dalam Kitab Tamadun Melayu, 394-403. Kuala Lumpur: Patriots Publishing.

Al-Jitrawiy, Izzuddin. 2021. The Rise Of Fallen Kingdom: "Keagungan Empayar Nusantara". Alor Setar: Izzuddin Al Jitrawiy.

Effendi, Helmi dkk. 2019. Tokoh Agung Melayu. Kuala Lumpur: Patriots Publishing.

Haris, M dkk. (2016). Hubungan Tradisi Kerajaan Pa'tani Dengan Hujong Tanah (Johor) Melalui Ikatan Perkahwinan Dan Perang Dingin. (Makalah Seminar Institusi Raja dalam Manuskrip Melayu,Universiti Malaysia Perlis,2016) Diakses dari https://melayu.library.uitm.edu.my/442/

Ibrahim, Syed Mahadzir. 2020. Langkasuka: Membongkar Sejarah Melayu Islam Pattani yang Hilang. Petaling Jaya: Hijjaz Records Publishing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Akulturasi Dayak, Melayu, dan Jawa Menjadi Urang Banjar

130 Tahun Pasang Surut Hubungan Aceh-Johor

Persaudaraan Aceh dengan Perak dan Pahang dalam Sejarah